PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia
memiliki 17.508 pulau dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta
memiliki Jumlah panjang garis pantai 91.000 Km. Luas wilayah yang terdiri dari
70 persen lautan dan luas perairan lautnya 5,8 juta Km2 termasuk Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI) atau 70 persen dari luas total Indonesia (Nontji,
2007).
Perairan
Indonesia memiliki kekayaan laut yang beranekaragam dan dapat
dimanfaatkan
untuk kebutuhan komsumsi atau pun menghasilkan devisa melalui ekspor. Berbagai
jenis ikan yang terdapat di perairan Indonesia, diantaranya adalah ikan pelagis
besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, dan lain-lain.
Sektor kelautan yang dimiliki oleh Indonesia menyediakan
beragam potensi sumberdaya alam. Potensi sumberdaya tersebut terdiri dari
sumberdaya yang dapat
diperbaharui,
seperti sumberdaya perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya laut dan
pantai, energi non konvensional dan energi serta sumberdaya yang tidak dapat
diperbaharui seperti sumberdaya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis mineral.
Selain dua jenis sumberdaya tersebut, juga terdapat berbagai macam jasa
lingkungan lautan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan dan
perikanan seperti pariwisata bahari, industri maritim, jasa angkutan dan
sebagainya.
Sumberdaya perikanan merupakan salah satu kelompok
sumberdaya yang
terbarukan
(renewable), sehingga memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan
hati-hati. Artinya, apa yang kita manfaatkan sekarang bisa mempengaruhi atau bisa tidak mempengaruhi
ketersediaan sumberdaya di masa mendatang karena jumlah kuantitas fisik dari
sumberdaya tersebut berubah sepanjang waktu. Perikanan merupakan salah satu
aktivitas yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa
sehingga ikan merupakan salah satu komoditi yang berperan penting dalam
kehidupan manusia. Selain bias digunakan untuk konsumsi pemenuhan kebutuhan
protein hewani, juga merupakan sumber penghasilan negara (devisa) berupa
ekspor.
Sejak dua dekade terakhir, usaha perikanan tangkap di laut
dunia maupun laut Indonesia berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, manusia
se jagat raya terpacu untuk menangkap ikan dan seafood lainnya lebih
banyak lagi guna memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk. Lebih dari itu, perikanan tangkap, terutama bagi
negara-negara berkembang, juga masih menjadi tumpuan untuk penciptaan lapangan
kerja, pengentasan kemiskinan, perolehan devisa, dan sejumlah multiplier
effects ekonomi lainnya. Usaha perikanan tangkap di seluruh laut dunia
sejak 1974 hingga 2008 rata-rata menghasilkan ikan sebesar 85 juta ton/tahun
dengan nilai ekonomi sekitar US$ 80 miliar/tahun. Sementara, jumlah
tenaga kerja langsung dan tidak langsung yang terserap oleh usaha perikanan
tangkap dunia sekitar 120 juta (World Bank and FAO, 2009).
Di sisi lain, dalam tiga dasawarsa terakhir berbagai jenis
stok ikan di kebanyakan wilayah laut dunia terus mengalami penurunan. Bahkan
beberapa jenis ikan telah punah. Pada awal tahun 2000-an, sekitar 75
persen dari seluruh jenis stok ikan laut dunia telah mencapai status
pemanfaatan yang jenuh (fully exploited), tangkap lebih(overfishing),
atau terkuras (FAO, 2004). Kemudian, pada 2008 persentase stok ikan laut
dunia yang status pemanfaatannya telah jenuh, tangkap lebih, dan terkuras
meningkat menjadi 84 persen. Dengan perincian, yang statusnya sudah jenuh
sebesar 53 persen, tangkap lebih 28 persen, dan terkuras 3 persen, dan yang
baru pulih dari kondisi terkuras sebesar 1 persen (FAO, 2010). Sekarang,
stok jenis-jenis ikan pelagis besar (seperti tuna, marlin, bonito, setuhuk, dan
ikan pedang) di laut dunia diperkirakan hanya tinggal 10 – 20 persen. Di
laut Mediterania, misalnya, 12 spesies ikan hiu telah punah akibat aktivitas
penangkapan secara berlebihan.
Oleh sebab itu, bila kita ingin membalikan kondisi perikanan
dunia yang kini cenderung tidak berkelanjutan ke arah yang berkelanjutan (sustainable),
maka kita mesti mengurangi laju penangkapan ikan (jumlah kapal ikan dan
nelayan) di laut. Kebijakan ini tentu memicu kontroversi dan dilema di
tengah dunia yang masih menyisakan 2 miliar warganya yang kekurangan pangan,
bergizi buruk, menganggur, atau miskin.
Situasi perikanan Indonesia
Dilema perikanan global di atas, dalam banyak hal juga
sedang terjadi di Indonesia. Pada 2011 total ikan hasil tangkapan dari
seluruh wilayah laut Indonesia mencapai 5,06 juta ton atau 77,8% dari total MSY
(Maximum Sustainable Yield) nya, sebesar 6,5 juta ton per tahun.
Padahal, untuk menjamin kelestarian (sustainability) dari sumber daya
ikan laut dan usaha perikanan tangkap itu sendiri, laju penangkapan ikan
maksimum yang diperbolehkan (Total Allowable Catch) adalah 80% MSY
(FAO, 1995). Artinya, ruang untuk mengembangkan usaha perikanan tangkap (jumlah
kapal ikan, nelayan, atau modernisasi teknologi) di Indonesia hanya tinggal 2,2
persen.
Lebih dari itu, banyak jenis stok ikan di wilayah-wilayah
perairan yang padat nelayan kita, seperti Selat Malaka, Laut Jawa, Pantai
Selatan Sulawesi, dan Selat Bali telah mengalami tangkap jenuh atau overfishing.
Demikian pula halnya dengan wilayah-wilayah perairan yang selama ini menjadi
ajang penjarahan ikan (illegal fishing) oleh kapal-kapal modern milik
asing, seperti Laut Natuna, Laut Cina Selatan, Laut Sulawesi, Laut Arafura, dan
ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia). Yang lebih mencemaskan, beberapa jenis
ikan dan biota laut lain, seperti ikan terubuk di perairan Selat Malaka, ikan
samadar dan banglus di perairan Pantura, ikan terbang di Pantai Selatan
Sulawesi, dan kimah raksasa (Tridacna gigas) di kebanyakan ekosistem
terumbu karang telah mengalami kepunahan.
Banyaknya stok ikan di berbagai wilayah perairan yang sudah
mengalami tangkap jenuh dan overfishing telah menyebabkan: (1) hasil
tangkapan ikan per satuan upaya (kapal ikan atau nelayan) semakin menurun, (2)
rata-rata ukuran ikan yang tertangkap semakin mengecil, dan (3) daerah
penangkapan ikan (fishing grounds) semakin jauh dari pantai. Ini semua
berdampak pada semakin berkurangnya pendapatan nelayan, dan membengkaknya biaya
melaut. Apabila pola penangkapan ikan secara berlebihan seperti sekarang
diteruskan, maka bukan hanya stok ikan di laut akan terkuras, tetapi usaha
perikanan tangkap itu sendiri pun bisa ambruk.
II. LATAR BELAKANG
Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan Tangkap Undang-Undang
Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 pasal 3, bahwa
wilayah provinsi, sebagaimana
yang dimaksud pasal 2 ayat
1, terdiri atas
wilayah darat dan wilayah laut
sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah lepas dan
atau ke arah perairan kepulauan. Wilayah
pesisir dan pulau dipandang dari segi pembangunan merupakan
potensi sumberdaya yang
dapat diperbaharui (pulih), terdiri atas : perikanan
laut (tangkap, budidaya,
dan pascapanen), hutan mangrove, terumbu karang,
industri bioteknologi kelautan
dan pulau-pulau kecil
(Dahuri,2001). Secara khusus,
sumberdaya perikanan tangkap
dikelompokkan ke dalam 4 kelompok yakni (Naamin, 1987):
1. Sumberdaya ikan demersal, yaitu jenis ikan
hidup di atau dekat perairan.
2. Sumberdaya pelagis kecil, yaitu jenis ikan y ang
berada di permukaan.
3. Sumberdaya
pelagis besar, yaitu
jenis ikan oseanik
y ang berada di
permukaan
dan
sangat jauh dari lepas pantai, seperti
tuna dan cakalang.
4. Sumberdaya
udang dan biota laut non ikan lainnya.
Perikanan tangkap menurut
Direktorat Jenderal Perikanan
Tangkap (2003) adalah kegiatan
ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman air
yang hidup di laut atau
perairan umum secara
bebas. Berdasarkan pengelolaannya, UU No. 22
Tahun 1999 pasal 10 ayat 2 menyatakan bahwa kewenangan daerah di
wilayah laut sebagaimana
dimaksud pada pasal 3,
meliputi
(1)
eksplorasi, eksploitasi, konservasi
dan pengelolaan kekayaan laut
sebatas wilay ah laut tersebut,
(2) pengaturan kepentingan administrasi,
(3)
pengaturan tata ruang,
(4) penegakan hukum terhadap peraturan yang
dikeluarkan oleh daerah yang dilimpahkan kewenangannya oleh
pemerintah, dan
(5)
bantuan penegakan keamanan dan
kedaulatan negara.
Selanjutnya pasal
10 ayat 3
dijelaskan bahwa kewenangan
daerah kabupaten dan daerah kota di wilayah laut,sebagaimana dimaksud pada ayat 2 adalah sejauh sepertiga dari
batas laut daerah provinsi.
Berdasarkan kewenangan
yang diberikan dalam
pengelolaan sumberdaya
tersebut, maka setiap
orang dapat memanfaatkan dan masuk
dalam industri perikanan. Setidaknya
ada dua rejim pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu rejim akses terbuka (open
access regime) dan rejim pengelolaan secara terpusat (centrally planned
management). Perbedaan kedua rejim ini
terletak pada terkontrol-tidaknya pengelolaan sumberdaya
dan bebas-tidaknya nelayan melakukan
ekspansi penangkapan ikan baik
secara teknologi, hari
menangkap ikan maupun
daerah penangkapan. Walaupun akses
terbuka seringkali disamakan dengan milik bersama (common property)
namun pada dasarnya
keduanya memiliki arti
yang sangat berbeda. Sumberdaya
milik bersama dapat
saja pemanfaatannya terkelola
dengan baik karena memang ada
yang memilikinya atau kepemilikan
bersama (co-owners).
Di
luar dari kelompok pemilik, pemanfaatan sumberdaya tidak dapat diikutkan, oleh
karena akan menimbulkan kesukaran
bagi kelompok pemilik
sumberdaya (exclusion).
Karena sumberdaya akses
terbuka tidak dimiliki oleh
siapapun, maka tidak ada
yang bisa mengeluarkan seseorang dari
mengkonsumsi suatu sumberdaya
sehingga lebih sering tidak tertata dalam pemanfaatanny a (Fox, 1992).
Keadaan
sumberdaya perikanan yang bebas
dan liar pada
tingkatan tertentu dapat dikategorikan sebagai
suatu sumberdaya akses
terbuka. Sebagai suatu
akses terbuka, berarti bahwa
sumberdaya perikanan bebas untuk
dimanfaatkan oleh setiap orang.
Bila industri masih
memiliki keuntungan super
normal dan merupakan insentif bagi
pendatang baru (new entrans)
untuk masuk ke dalam
industri, maka seseorang dengan
modal dan keterampilan
yang dimilikinya dapat
dengan bebas masuk ke dalam industri tersebut.
Namun jika dirasakan usaha
perikanan tidak lagi menguntungkan,
dia dengan bebas juga
dapat keluar dari
industri atau kegiatan ini.
Pada saat yang
sama mereka y ang
sudah terlebih dahulu ada
dalam industri akan memperluas atau meningkatkan usahan ya
(Clark et al., 1985).
III. PEMBAHASAN
A. OPEN ACCESS
Menurut Charles dalam Adrianto (2006), ada dua makna
dalam rejim open access, pertama sumberdaya perikanan yang tidak
terbatas ini diakses oleh hampir semua kapal yang tidak terbatas yang diyakini
akan menghasilkan kerusakan sumberdaya dan masalah ekonomi. Makna kedua adalah
bahwa tidak ada kontrol terhadap akses kapal, namun terdapat pengaturan
terhadap hasil tangkapan. Hal ini diyakini menjadi salah satu kontributor
dari over kapitalisasi terhadap kapal yang didorong oleh pemahaman rush for
the fish; siapa yang kuat dia yang menang.
dalam pengelolaan
sumberdaya, maka setiap
orang dapat memanfaatkan dan masuk
dalam industri perikanan. Setidaknya
ada dua rejim pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu rejim akses terbuka (open
access regime) dan rejim pengelolaan secara terpusat (centrally planned
management). Perbedaan kedua rejim ini
terletak pada terkontrol-tidaknya pengelolaan sumberdaya
dan bebas-tidaknya nelayan melakukan
ekspansi penangkapan ikan baik
secara teknologi, hari
menangkap ikan maupun
daerah penangkapan. Walaupun akses
terbuka seringkali disamakan dengan milik bersama (common property)
namun pada dasarnya
keduanya memiliki arti
yang sangat berbeda. Sumberdaya
milik bersama dapat
saja pemanfaatannya terkelola
dengan baik karena memang ada
yang memilikinya atau kepemilikan
bersama (co-owners).
Diluar
dari kelompok pemilik ,pemanfaatan suberdayaa tidak dapat diikutkan ,oleh
karena akan menimbulkan kesukaran bagi kelompok pmilik bagi kelommpok pemilik
sumberdaya(exclusion).Karena sumberdaya akses terbuka tidak di miliki oleh
siapapun ,maka tidak ada yang bias mengeluarkan seseorang dari mengkomsumsi
suatu sumberdaya sehingga lebih sering tidak tertata dalam pemanfaatanya(Fox,1992).
Keadaan
sumberdaya perikanan yang bebas dan liar pada tingkat tertentu dapat di
katagorikan sebagai sumberdaya akses
terbuka ,sebagaai suatu akses terbuka ,berarti bahwa sumberdaya perikanan bebas
di manfaaatkan oleh setiap orang.Bila suatu industry masi meliki keuntungan
super normal dan merupakan insentif bagi pendatang baru (new wntrans) untuk masuk kedalam industry
,maka seseorang dengan modal dan ketrampilaan yang dimiliki dapat dengan bebas
masuk kedalam industry terseebut ,Namun di rasakan usaha perikanan tidak lagi
menguntungkan dia dengan bebas juga dapat keluar dari industry atau kegiatan
ini pada saat yang sama mereka yang sudah terlebih dahulu ada dalam industry
akan memperluas atau meningkatkan usahanya,(Clark etal 1985)
Adrianto (2006) mengemukakan bahwa
Indonesia melalui penataan hukum yang menyangkut kegiatan perikanan maupun
pengelolaan laut pada umumnya, menyebutkan adanya pembatasan akses terhadap
wilayah penangkapan ikan. Namun demikian, pengaturan ini tidak diikuti
dengan pembatasan jumlah kapal sehingga yang terjadi adalah quasi open access
atau open access.. Lemahnya penegakan hukum di laut juga menjadi
kontributor utama dari belum berhasilnya rejim tata kelola (governance)
perikanan kita. Dalam konteks ini, revitalisasi tata kelola (governance
revitalization) menjadi salah satu prasyarat utama sebagai bagian dari
sebuah konsepsi negara kelautan terbesar (ocean state) di dunia.
(a). Rezim
Akses Terbuka Meminggirkan "Nelayan Kecil"
UU
No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan disebut-sebut membawa harapan baru bagi
perbaikan nasib "nelayan kecil" -demikian istilah yang digunakan
dalam undang-undang itu. Dibandingkan dengan pendahulunya, UU No. 9 Tahun 1985
yang memang miskin pasal, undang-undang yang termasuk royal jika dilihat dari
banyaknya pasal ini dikabarkan lebih sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah
disepakati dunia antar bangsa tentang pengelolaan perikanan yang
bertanggung-jawab.
Selain itu,
aturan-aturan pidana yang lebih rinci dilengkapi dengan suatu pengadilan khusus
yang mengadili perkara-perkara terkait perikanan menurut undang-undang ini,
diharapkan mampu memerangi penangkapan ikan ilegal yang konon menyumbang banyak
pada tak kunjung membaiknya-jika bukan memburuk-taraf hidup nelayan Indonesia.
Dipadukan dengan lingkungan pemerintahan daerah yang semakin kondusif dalam
arti desentralistis, pemerintah daerah yang dianggap lebih tahu kondisi daerah
masing-masing kini memiliki andil dalam pengelolaan perikanan nasional. Pendek
kata, berbagai terobosan yang diperkenalkan oleh UU No. 31 tahun 2004-seperti
ditegaskan oleh undang-undang itu-didedikasikan pada peningkatan taraf hidup
nelayan kecil.
seluruh dunia termasuk di Indonesia. Kenyataan bahwa
sebagian besar nelayan di Indonesia-dan mungkin juga di negara-negara dunia
ketiga lainnya-hidup dalam taraf subsisten tidak boleh dijadikan justifikasi
bahwa nelayan itu pasti hidup subsisten. Padahal masih banyak sudut pandang
lain yang justru lebih signifikan untuk digunakan dalam pendefinisian profesi
nelayan di Indonesia, di mana pada kenyataannya profesi ini di nusantara sudah
sama tuanya dengan profesi petani, dan telah mengembangkan berbagai
lembaga-lembaga yang sama sekali tidak dapat dikatakan terbelakang. Definisi
itu justru melestarikan suatu keadaan yang oleh undang-undangnya sendiri
diupayakan untuk dihilangkan atau diubah.
Sekalipun terdapat peraturan perijinan bagi usaha perikanan
dan kapal penangkap ikan, pada dasarnya UU No. 31 Tahun 2004 masih menganut
rezim akses terbuka (open access) dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Pada
dasarnya, semua saja yang memiliki modal yang cukup untuk mengadakan alat-alat
tangkap tertentu yang dibenarkan hukum boleh menangkap ikan di perairan
Indonesia. Dalam kondisi tanpa diskriminasi sedemikian, akhirnya jelaslah yang
akan mendapat keuntungan terbesar dari usaha penangkapan ikan adalah mereka
yang memiliki modal terbesar pula. Insentif bahwa "nelayan kecil"
dapat melakukan penangkapan ikan tanpa memerlukan ijin menjadi tidak banyak
berguna, karena kemampuan mereka menangkap ikan pun sudah sangat terbatas
karena keterbatasan akses yang kronis kepada modal.
Lagipula, sudah
menjadi rahasia umum bahwa mekanisme perijinan selalu saja menjadi lahan subur
bagi oknum-oknum birokrasi untuk mencari tambahan rejeki. Apabila benar bahwa
UU No. 31 Tahun 2004 memperjuangkan nasib mereka yang disebutnya sebagai
nelayan kecil, porsi terbesar seharusnya diberikan tidak saja pada pengaturan
yang nyata-nyata perpihak pada mereka, seperti pengakuan yang lebih signifikan
terhadap eksistensi profesional mereka; tetapi juga sikap tegas negara untuk
menyeimbangkan neraca yang jelas-jelas timpang di bidang permodalan, yang tak
dapat dipungkiri sangat menentukan itu.
B.
COMMOM PROPERTY
Perikanan itu sendiri diartikan sebagai
kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikandan
lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan (UU Nomor 45 Tahun 2009). Sedangkan menurut Lackey (2005) dalam
Fauzi (2010), perikanan diartikan
sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga komponen, yakni biota perairan,
habitat biota, dan manusia sebagai pengguna sumber daya tersebut.
Pengelolaan
sumberdaya perikanan dapat dibagi dalam dua kelompok
besar
yaitu
(1) res
communes atau properti bersama, atau ada yang memiliki, dan
(2) res nullius atau tanpa pemilik. Rezim
sumberdaya yang dimiliki bersama ( res ommunes) dapat dibagi menjadi :
a. dimiliki oleh semua orang sehingga
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut terbuka bagi setiap orang,
b. dimiliki oleh atau property masyarakat
tertentu yang jelas batas-batasnya dan karena itu sumberdaya hanya terbuka bagi
masyarakat itu dan tertutup bagi masyarakat lain,
c.
properti pemerintah yang berarti bahwa hak-hak pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya tersebut ada di tangan pemerintah yang dapat saja dialihkan kepada
masyarakat, dan
d.
properti swasta dimana swasta selaku perusahaan atau individu memiliki hak
pemanfaatan dan pengelolaan.
Rezim
sumberdaya perikanan tanpa pemilik (res nullius) artinya bahwa sumberdaya tidak
dimiliki oleh siapapun. Rezim ini bisa berupa de-facto atau de-jure tanpa
pemilik. De-facto tanpa pemilik artinya rezim tersebut secara de-jure memang
dimiliki namun aturan-aturan yang mendasarinya tidak efektif sehingga akhirnya
sumberdaya tersebut dalam kenyataannya seperti tanpa pemilik.
De-jure artinya kondisi dimana ada sistem yang
mendeklarasikan bahwa sumberdaya tersebut memng tidak dimiliki oleh siapapun
(Nikijuluw, 2005).Pengelolaan sumberdaya perikanan memerlukan rencana yang baik
yang harus disetujui dan didukung oleh segenap dari mereka yang terlibat dan
yang berkepentingan, yakni para stakeholders (pemangku kepentingan). Dengan
melibatkan seluruh stakeholders maka kewajiban dan tanggung jawab mereka
terhadap pemanfaatan dan pengelolaan jangka panjang atas sumberdaya ikan dan
ekosistemnya dapat ditingkatkan (Widodo, 2006).
Menurut
Fauzi (2005) sektor perikanan memiliki karakteristik yang unik, berbeda dengan
sektor yang lainnya, seperti pertanian ataupun pertambangan. Sehingga dalam
penanganan masalah sektor ini memerlukan pendekatan tersendiri. Selain
berhadapan dengan fugitive
resource(sumberdaya yang bergerak) dan kompleksitas biologi dan fisik perairan,
pengelolaan sumberdaya perikanan juga dihadapkan pada masalah hak kepemilikan
(common property resource).
Hak
kepemilikan dalam perikanan sulit untuk ditentukan, sehingga dalam
pemanfaatannya selalu dihadapkan pada eksploitasi yang berlebih yang berakhi
pada eksternalitas. Sebagaimana istilah bagi sumberdaya milik umum atau common
property, yaitu everybody’s property is nobody’s propertyyang
berarti bahwa karena sumberdaya perikanan milik semua orang atau bersifat common property, maka sumberdaya tersebut
tidak ada kepemilikan bagi seseorang.
Menurut
Fauzi (2010), kondisi seperti ini disebut
ferae naturae, yaitu kondisi dimana hewan atau ikan memiliki sifat
alamiah (wild by nature), tidak ada yang berhak mengklaim kepemilikannya dan
kepemilikan hanya berlaku ketika seseorang menangkapnya. Dengan kata lain ikan
menjadi milik seseorang ketika ikan tersebut telah ditangkap.
Eksternalitas
dalam perikanan merupakan dampak dari pemanfaatan yang berlebih, baik itu
konsumsi, produksi, distribusi, maupun industri dari perikanan Eksternalitas
dalam perikanan cenderung ke arah
eksternalitas negatif, dimana kegiatan yang dilakukan di sektor perikanan
menimbulkan dampak yang merugikan bagi orang lain. Menurut Fauzi (2005),
eksternalitas di sektor perikanan misalnya adalah eksternalitas dalam bentuk
perebutan daerah tangkapan (space interception externality), dimana masing-masing
nelayan ingin mendahului nelayan lainnya untuk mencapai fishing ground dan
gear externality atau
eksternalitas alat tangkap, dimana penggunaan satu alat tangkap dapat menimbulkan
kerugian atau kerusakan pada nelayan lain.
Karakteristik
lain yang juga merupakan karakteristik unik dari perikanan adalah apa yang
disebut sebagai biological feedback (umpan balik biologi). Dimana dalam
karakteristik ini ikan merupakan
inputdan juga outputdari sector
perikanan. Sumberdaya ikan sangat reaktif terhadap eksploitasi dan kondisi alam
yang menyediakan ikan, sehingga menentukan berapa ikan yang bisa diekstrasi.
Jadi ketersediaan stok ikan (input) akan menentukan berapa ikan yang bisa
ditangkap (Fauzi, 2010).
- Hanna, S. 1999. Strenthening Governance of Ocean Fishery Resources. Ecological Economics Vol. 31 : pp. 275-286.
- Dahuri, R. 2004. Membangun Indonesia yang Maju, Makmur dan Mandiri Melalui Pembangunan Maritim. Makalah disampaikan pada Temu Nasional Visi dan Misi Maritim Indonesia dari Sudut Pandang Politik, Jakarta, 18 Februari 2004.
- Nohria, N and Gulati, R. 1994. Firms and Their Environments. In : Smelser, N.J. and Swedberg, R. (Eds). The Handbook of Economic Sociology. Princenton University Press. Pricenton, NJ. pp. 529-599.
4.
(Sumber: Majalah Samudera Oktober
2012)
5. Ekonomi Perikanan Teori,
Kebijakan, Dan Pengelolaan Oleh Akhmad Fauzi
MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN
(MSP)
*** OPEN ACCESS END COMMOM
PROPERTY***
nháºn order sản phẩm làm Ä‘ẹp Hà n Quốc ở tại Hà Ná»™i – TPHCM
BalasHapuschuyên đặt hàng sản phẩm làm Ä‘ẹp Hà n Quốc
order mỹ phẩm Hà n Quốc ở tại Hà Nội
Alat Bantu Sex
BalasHapusBoneka Full Body
Obat Penghilang Tatto
Alat Pembesar Payudara
Alat Pembesar Penis
Obat Perangsang Wanita
Procomil Spray
Celana Hernia
Viagra
Viagra
Nice artickle, thanks has been sharing this information. Do not forget to visit our website to share information and knowledge about health.
BalasHapusObat Viagra
Viagra Asli
Khasiat Obat Viagra
Pil Biru
Penirum Asli