Kamis, 11 Desember 2014

OPEN ACCESS DAN COMMOM PROPERTY


PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.508 pulau dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki Jumlah panjang garis pantai 91.000 Km. Luas wilayah yang terdiri dari 70 persen lautan dan luas perairan lautnya 5,8 juta Km2 termasuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) atau 70 persen dari luas total Indonesia (Nontji, 2007).
Perairan Indonesia memiliki kekayaan laut yang beranekaragam dan dapat
dimanfaatkan untuk kebutuhan komsumsi atau pun menghasilkan devisa melalui ekspor. Berbagai jenis ikan yang terdapat di perairan Indonesia, diantaranya adalah ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, dan lain-lain.

Sektor kelautan yang dimiliki oleh Indonesia menyediakan beragam potensi sumberdaya alam. Potensi sumberdaya tersebut terdiri dari sumberdaya yang dapat
diperbaharui, seperti sumberdaya perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya laut dan pantai, energi non konvensional dan energi serta sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti sumberdaya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis sumberdaya tersebut, juga terdapat berbagai macam jasa lingkungan lautan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan dan perikanan seperti pariwisata bahari, industri maritim, jasa angkutan dan sebagainya.

Sumberdaya perikanan merupakan salah satu kelompok sumberdaya yang
terbarukan (renewable), sehingga memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Artinya, apa yang kita manfaatkan sekarang bisa mempengaruhi atau  bisa tidak mempengaruhi ketersediaan sumberdaya di masa mendatang karena jumlah kuantitas fisik dari sumberdaya tersebut berubah sepanjang waktu. Perikanan merupakan salah satu aktivitas yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa sehingga ikan merupakan salah satu komoditi yang berperan penting dalam kehidupan manusia. Selain bias digunakan untuk konsumsi pemenuhan kebutuhan protein hewani, juga merupakan sumber penghasilan negara (devisa) berupa ekspor.

Sejak dua dekade terakhir, usaha perikanan tangkap di laut dunia maupun laut Indonesia berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, manusia se jagat raya terpacu untuk menangkap ikan dan seafood lainnya lebih banyak lagi guna memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Lebih dari itu, perikanan tangkap, terutama bagi negara-negara berkembang, juga masih menjadi tumpuan untuk penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, perolehan devisa, dan sejumlah multiplier effects ekonomi lainnya. Usaha perikanan tangkap di seluruh laut dunia sejak 1974 hingga 2008 rata-rata menghasilkan ikan sebesar 85 juta ton/tahun dengan nilai ekonomi sekitar US$ 80 miliar/tahun.  Sementara, jumlah tenaga kerja langsung dan tidak langsung yang terserap oleh usaha perikanan tangkap dunia sekitar 120 juta (World Bank and FAO, 2009).
Di sisi lain, dalam tiga dasawarsa terakhir berbagai jenis stok ikan di kebanyakan wilayah laut dunia terus mengalami penurunan. Bahkan beberapa jenis ikan telah punah.  Pada awal tahun 2000-an, sekitar 75 persen dari seluruh jenis stok ikan laut dunia telah mencapai status pemanfaatan yang jenuh (fully exploited), tangkap lebih(overfishing), atau terkuras (FAO, 2004).  Kemudian, pada 2008 persentase stok ikan laut dunia yang status pemanfaatannya telah jenuh, tangkap lebih, dan terkuras meningkat menjadi 84 persen. Dengan perincian, yang statusnya sudah jenuh sebesar 53 persen, tangkap lebih 28 persen, dan terkuras 3 persen, dan yang baru pulih dari kondisi terkuras sebesar 1 persen (FAO, 2010).  Sekarang, stok jenis-jenis ikan pelagis besar (seperti tuna, marlin, bonito, setuhuk, dan ikan pedang) di laut dunia  diperkirakan hanya tinggal 10 – 20 persen. Di laut Mediterania, misalnya, 12 spesies ikan hiu telah punah akibat aktivitas penangkapan secara berlebihan.
Oleh sebab itu, bila kita ingin membalikan kondisi perikanan dunia yang kini cenderung tidak berkelanjutan ke arah yang berkelanjutan (sustainable), maka kita mesti mengurangi laju penangkapan ikan (jumlah kapal ikan dan nelayan) di laut.  Kebijakan ini tentu memicu kontroversi dan dilema di tengah dunia yang masih menyisakan 2 miliar warganya yang kekurangan pangan, bergizi buruk, menganggur, atau miskin.
 
Situasi perikanan Indonesia
Dilema perikanan global di atas, dalam banyak hal juga sedang terjadi di Indonesia.  Pada 2011 total ikan hasil tangkapan dari seluruh wilayah laut Indonesia mencapai 5,06 juta ton atau 77,8% dari total MSY (Maximum Sustainable Yield) nya, sebesar 6,5 juta ton per tahun.  Padahal, untuk menjamin kelestarian (sustainability) dari sumber daya ikan laut dan usaha perikanan tangkap itu sendiri, laju penangkapan ikan maksimum yang diperbolehkan (Total Allowable Catch) adalah 80% MSY (FAO, 1995). Artinya, ruang untuk mengembangkan usaha perikanan tangkap (jumlah kapal ikan, nelayan, atau modernisasi teknologi) di Indonesia hanya tinggal 2,2 persen.
Lebih dari itu, banyak jenis stok ikan di wilayah-wilayah perairan yang padat nelayan kita, seperti Selat Malaka, Laut Jawa, Pantai Selatan Sulawesi, dan Selat Bali telah mengalami tangkap jenuh atau overfishing.  Demikian pula halnya dengan wilayah-wilayah perairan yang selama ini menjadi ajang penjarahan ikan (illegal fishing) oleh kapal-kapal modern milik asing, seperti Laut Natuna, Laut Cina Selatan, Laut Sulawesi, Laut Arafura, dan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia). Yang lebih mencemaskan, beberapa jenis ikan dan biota laut lain, seperti ikan terubuk di perairan Selat Malaka, ikan samadar dan banglus di perairan Pantura, ikan terbang di Pantai Selatan Sulawesi, dan kimah raksasa (Tridacna gigas) di kebanyakan ekosistem terumbu karang telah mengalami kepunahan.
Banyaknya stok ikan di berbagai wilayah perairan yang sudah mengalami tangkap jenuh dan overfishing telah menyebabkan: (1) hasil tangkapan ikan per satuan upaya (kapal ikan atau nelayan) semakin menurun, (2) rata-rata ukuran ikan yang tertangkap semakin mengecil, dan (3) daerah penangkapan ikan (fishing grounds) semakin jauh dari pantai. Ini semua berdampak pada semakin berkurangnya pendapatan nelayan, dan membengkaknya biaya melaut.  Apabila pola penangkapan ikan secara berlebihan seperti sekarang diteruskan, maka bukan hanya stok ikan di laut akan terkuras, tetapi usaha perikanan tangkap itu sendiri pun bisa ambruk.

 II.       LATAR BELAKANG
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap Undang-Undang  Republik  Indonesia  No.  22  Tahun 1999 pasal  3,  bahwa wilayah  provinsi,  sebagaimana  yang dimaksud  pasal  2  ayat  1,  terdiri  atas  wilayah darat  dan wilayah laut sejauh 12 mil  laut yang  diukur dari garis pantai ke arah lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.  Wilayah pesisir dan pulau dipandang dari segi pembangunan  merupakan  potensi  sumberdaya  yang  dapat  diperbaharui  (pulih), terdiri  atas  :  perikanan  laut  (tangkap,  budidaya,  dan pascapanen),  hutan  mangrove, terumbu  karang,  industri  bioteknologi  kelautan  dan  pulau-pulau  kecil  (Dahuri,2001).  Secara  khusus,  sumberdaya  perikanan  tangkap  dikelompokkan ke  dalam  4 kelompok yakni (Naamin, 1987):
1.  Sumberdaya ikan demersal, yaitu jenis ikan hidup di  atau dekat perairan.
2.  Sumberdaya pelagis kecil, yaitu jenis ikan y ang berada di permukaan.
3.  Sumberdaya  pelagis  besar,  yaitu  jenis  ikan  oseanik  y ang  berada  di  permukaan
dan sangat jauh dari lepas pantai, seperti  tuna  dan cakalang.
4.   Sumberdaya  udang dan biota laut non ikan lainnya.
Perikanan  tangkap  menurut  Direktorat  Jenderal  Perikanan  Tangkap  (2003) adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman  air  yang hidup di laut  atau perairan  umum  secara  bebas.  Berdasarkan pengelolaannya,  UU  No.  22  Tahun  1999 pasal  10  ayat  2  menyatakan  bahwa kewenangan  daerah di  wilayah  laut  sebagaimana  dimaksud pada  pasal  3,  meliputi
 (1)  eksplorasi,  eksploitasi,  konservasi  dan  pengelolaan kekayaan  laut  sebatas wilay ah laut tersebut, 
 (2) pengaturan kepentingan administrasi, 
(3) pengaturan tata ruang,
 (4) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah yang dilimpahkan kewenangannya  oleh  pemerintah,  dan
  (5)  bantuan  penegakan keamanan dan kedaulatan  negara.  

Selanjutnya  pasal  10  ayat  3  dijelaskan bahwa kewenangan  daerah  kabupaten  dan daerah kota di wilayah  laut,sebagaimana dimaksud pada ayat  2 adalah sejauh sepertiga  dari  batas laut daerah provinsi.
Berdasarkan  kewenangan  yang  diberikan  dalam  pengelolaan  sumberdaya tersebut,  maka  setiap  orang dapat  memanfaatkan dan  masuk  dalam  industri perikanan.  Setidaknya  ada  dua  rejim pengelolaan sumberdaya  perikanan yaitu rejim akses terbuka (open access regime) dan rejim pengelolaan secara terpusat (centrally planned management).  Perbedaan kedua  rejim ini  terletak pada terkontrol-tidaknya pengelolaan  sumberdaya  dan bebas-tidaknya  nelayan  melakukan  ekspansi penangkapan  ikan  baik  secara  teknologi,  hari  menangkap  ikan  maupun  daerah penangkapan.  Walaupun  akses  terbuka  seringkali  disamakan dengan milik bersama (common  property)  namun  pada  dasarnya  keduanya  memiliki  arti  yang  sangat berbeda.  Sumberdaya  milik  bersama  dapat  saja  pemanfaatannya  terkelola  dengan baik  karena  memang ada  yang memilikinya  atau kepemilikan bersama  (co-owners).
Di luar dari kelompok pemilik, pemanfaatan sumberdaya tidak dapat diikutkan, oleh karena akan  menimbulkan  kesukaran  bagi  kelompok  pemilik  sumberdaya (exclusion).  Karena  sumberdaya  akses  terbuka  tidak dimiliki  oleh  siapapun,  maka tidak  ada  yang bisa mengeluarkan seseorang dari  mengkonsumsi  suatu sumberdaya sehingga lebih sering tidak tertata dalam pemanfaatanny a (Fox, 1992).
 Keadaan  sumberdaya  perikanan  yang bebas  dan  liar  pada  tingkatan  tertentu dapat dikategorikan  sebagai  suatu  sumberdaya  akses  terbuka.  Sebagai  suatu  akses terbuka, berarti  bahwa sumberdaya  perikanan bebas untuk dimanfaatkan oleh setiap orang.  Bila  industri  masih  memiliki  keuntungan  super  normal  dan  merupakan insentif  bagi  pendatang  baru  (new entrans)  untuk  masuk ke  dalam  industri,  maka seseorang  dengan  modal  dan  keterampilan  yang  dimilikinya  dapat  dengan  bebas masuk ke  dalam industri  tersebut.  Namun jika  dirasakan  usaha  perikanan tidak lagi menguntungkan,  dia  dengan bebas  juga  dapat  keluar  dari  industri  atau kegiatan ini. Pada  saat  yang  sama  mereka  y ang  sudah  terlebih dahulu  ada  dalam  industri  akan memperluas atau meningkatkan usahan ya (Clark et al., 1985).

 III.     PEMBAHASAN
A.    OPEN ACCESS
Menurut Charles dalam Adrianto (2006), ada dua makna dalam rejim open access, pertama sumberdaya perikanan yang tidak terbatas ini diakses oleh hampir semua kapal yang tidak terbatas yang diyakini akan menghasilkan kerusakan sumberdaya dan masalah ekonomi.  Makna kedua adalah bahwa tidak ada kontrol terhadap akses kapal, namun terdapat pengaturan terhadap hasil tangkapan.  Hal ini diyakini menjadi salah satu kontributor dari over kapitalisasi terhadap kapal yang didorong oleh pemahaman rush for the fish; siapa yang kuat dia yang menang.
dalam  pengelolaan  sumberdaya,  maka  setiap  orang dapat  memanfaatkan dan  masuk  dalam  industri perikanan.  Setidaknya  ada  dua  rejim pengelolaan sumberdaya  perikanan yaitu rejim akses terbuka (open access regime) dan rejim pengelolaan secara terpusat (centrally planned management).  Perbedaan kedua  rejim ini  terletak pada terkontrol-tidaknya pengelolaan  sumberdaya  dan bebas-tidaknya  nelayan  melakukan  ekspansi penangkapan  ikan  baik  secara  teknologi,  hari  menangkap  ikan  maupun  daerah penangkapan.  Walaupun  akses  terbuka  seringkali  disamakan dengan milik bersama (common  property)  namun  pada  dasarnya  keduanya  memiliki  arti  yang  sangat berbeda.  Sumberdaya  milik  bersama  dapat  saja  pemanfaatannya  terkelola  dengan baik  karena  memang ada  yang memilikinya  atau kepemilikan bersama  (co-owners).
Diluar dari kelompok pemilik ,pemanfaatan suberdayaa tidak dapat diikutkan ,oleh karena akan menimbulkan kesukaran bagi kelompok pmilik bagi kelommpok pemilik sumberdaya(exclusion).Karena sumberdaya akses terbuka tidak di miliki oleh siapapun ,maka tidak ada yang bias mengeluarkan seseorang dari mengkomsumsi suatu sumberdaya sehingga lebih sering tidak tertata dalam pemanfaatanya(Fox,1992).
Keadaan sumberdaya perikanan yang bebas dan liar pada tingkat tertentu dapat di katagorikan  sebagai sumberdaya akses terbuka ,sebagaai suatu akses terbuka ,berarti bahwa sumberdaya perikanan bebas di manfaaatkan oleh setiap orang.Bila suatu industry masi meliki keuntungan super normal dan merupakan insentif bagi pendatang baru  (new wntrans) untuk masuk kedalam industry ,maka seseorang dengan modal dan ketrampilaan yang dimiliki dapat dengan bebas masuk kedalam industry terseebut ,Namun di rasakan usaha perikanan tidak lagi menguntungkan dia dengan bebas juga dapat keluar dari industry atau kegiatan ini pada saat yang sama mereka yang sudah terlebih dahulu ada dalam industry akan memperluas atau meningkatkan usahanya,(Clark etal 1985)
Adrianto (2006) mengemukakan bahwa Indonesia melalui penataan hukum yang menyangkut kegiatan perikanan maupun pengelolaan laut pada umumnya, menyebutkan adanya pembatasan akses terhadap wilayah penangkapan ikan.  Namun demikian, pengaturan ini tidak diikuti dengan pembatasan jumlah kapal sehingga yang terjadi adalah quasi open access atau open access..  Lemahnya penegakan hukum di laut juga menjadi kontributor utama dari belum berhasilnya rejim tata kelola (governance) perikanan kita.  Dalam konteks ini, revitalisasi tata kelola (governance revitalization) menjadi salah satu prasyarat utama sebagai bagian dari sebuah konsepsi negara kelautan terbesar (ocean state) di dunia.
(a). Rezim Akses Terbuka Meminggirkan "Nelayan Kecil"
UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan disebut-sebut membawa harapan baru bagi perbaikan nasib "nelayan kecil" -demikian istilah yang digunakan dalam undang-undang itu. Dibandingkan dengan pendahulunya, UU No. 9 Tahun 1985 yang memang miskin pasal, undang-undang yang termasuk royal jika dilihat dari banyaknya pasal ini dikabarkan lebih sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah disepakati dunia antar bangsa tentang pengelolaan perikanan yang bertanggung-jawab.
 Selain itu, aturan-aturan pidana yang lebih rinci dilengkapi dengan suatu pengadilan khusus yang mengadili perkara-perkara terkait perikanan menurut undang-undang ini, diharapkan mampu memerangi penangkapan ikan ilegal yang konon menyumbang banyak pada tak kunjung membaiknya-jika bukan memburuk-taraf hidup nelayan Indonesia. Dipadukan dengan lingkungan pemerintahan daerah yang semakin kondusif dalam arti desentralistis, pemerintah daerah yang dianggap lebih tahu kondisi daerah masing-masing kini memiliki andil dalam pengelolaan perikanan nasional. Pendek kata, berbagai terobosan yang diperkenalkan oleh UU No. 31 tahun 2004-seperti ditegaskan oleh undang-undang itu-didedikasikan pada peningkatan taraf hidup nelayan kecil.
seluruh dunia termasuk di Indonesia. Kenyataan bahwa sebagian besar nelayan di Indonesia-dan mungkin juga di negara-negara dunia ketiga lainnya-hidup dalam taraf subsisten tidak boleh dijadikan justifikasi bahwa nelayan itu pasti hidup subsisten. Padahal masih banyak sudut pandang lain yang justru lebih signifikan untuk digunakan dalam pendefinisian profesi nelayan di Indonesia, di mana pada kenyataannya profesi ini di nusantara sudah sama tuanya dengan profesi petani, dan telah mengembangkan berbagai lembaga-lembaga yang sama sekali tidak dapat dikatakan terbelakang. Definisi itu justru melestarikan suatu keadaan yang oleh undang-undangnya sendiri diupayakan untuk dihilangkan atau diubah.
Sekalipun terdapat peraturan perijinan bagi usaha perikanan dan kapal penangkap ikan, pada dasarnya UU No. 31 Tahun 2004 masih menganut rezim akses terbuka (open access) dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Pada dasarnya, semua saja yang memiliki modal yang cukup untuk mengadakan alat-alat tangkap tertentu yang dibenarkan hukum boleh menangkap ikan di perairan Indonesia. Dalam kondisi tanpa diskriminasi sedemikian, akhirnya jelaslah yang akan mendapat keuntungan terbesar dari usaha penangkapan ikan adalah mereka yang memiliki modal terbesar pula. Insentif bahwa "nelayan kecil" dapat melakukan penangkapan ikan tanpa memerlukan ijin menjadi tidak banyak berguna, karena kemampuan mereka menangkap ikan pun sudah sangat terbatas karena keterbatasan akses yang kronis kepada modal.
 Lagipula, sudah menjadi rahasia umum bahwa mekanisme perijinan selalu saja menjadi lahan subur bagi oknum-oknum birokrasi untuk mencari tambahan rejeki. Apabila benar bahwa UU No. 31 Tahun 2004 memperjuangkan nasib mereka yang disebutnya sebagai nelayan kecil, porsi terbesar seharusnya diberikan tidak saja pada pengaturan yang nyata-nyata perpihak pada mereka, seperti pengakuan yang lebih signifikan terhadap eksistensi profesional mereka; tetapi juga sikap tegas negara untuk menyeimbangkan neraca yang jelas-jelas timpang di bidang permodalan, yang tak dapat dipungkiri sangat menentukan itu.
 
B.     COMMOM PROPERTY
 Perikanan itu sendiri diartikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikandan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan   (UU Nomor 45 Tahun 2009).  Sedangkan menurut Lackey (2005)  dalam  Fauzi  (2010), perikanan diartikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga komponen, yakni biota perairan, habitat biota, dan manusia sebagai pengguna sumber daya tersebut.
Pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dibagi dalam dua kelompok
besar yaitu
(1) res communes atau properti bersama, atau ada yang memiliki, dan
(2)  res nullius atau tanpa pemilik. Rezim sumberdaya yang dimiliki bersama ( res ommunes) dapat dibagi menjadi :
a.  dimiliki oleh semua orang sehingga pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut terbuka bagi setiap orang,
b.  dimiliki oleh atau property masyarakat tertentu yang jelas batas-batasnya dan karena itu sumberdaya hanya terbuka bagi masyarakat itu dan tertutup bagi masyarakat lain,
c. properti pemerintah yang berarti bahwa hak-hak pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut ada di tangan pemerintah yang dapat saja dialihkan kepada masyarakat, dan
d. properti swasta dimana swasta selaku perusahaan atau individu memiliki hak pemanfaatan dan pengelolaan.
 Rezim sumberdaya perikanan tanpa pemilik (res nullius) artinya bahwa sumberdaya tidak dimiliki oleh siapapun. Rezim ini bisa berupa de-facto atau de-jure tanpa pemilik. De-facto tanpa pemilik artinya rezim tersebut secara de-jure memang dimiliki namun aturan-aturan yang mendasarinya tidak efektif sehingga akhirnya sumberdaya tersebut dalam kenyataannya seperti tanpa pemilik.
 
De-jure artinya kondisi dimana ada sistem yang mendeklarasikan bahwa sumberdaya tersebut memng tidak dimiliki oleh siapapun (Nikijuluw, 2005).Pengelolaan sumberdaya perikanan memerlukan rencana yang baik yang harus disetujui dan didukung oleh segenap dari mereka yang terlibat dan yang berkepentingan, yakni para stakeholders (pemangku kepentingan). Dengan melibatkan seluruh stakeholders maka kewajiban dan tanggung jawab mereka terhadap pemanfaatan dan pengelolaan jangka panjang atas sumberdaya ikan dan ekosistemnya dapat ditingkatkan (Widodo, 2006).
 Menurut Fauzi (2005) sektor perikanan memiliki karakteristik yang unik, berbeda dengan sektor yang lainnya, seperti pertanian ataupun pertambangan. Sehingga dalam penanganan masalah sektor ini memerlukan pendekatan tersendiri. Selain berhadapan dengan  fugitive resource(sumberdaya yang bergerak) dan kompleksitas biologi dan fisik perairan, pengelolaan sumberdaya perikanan juga dihadapkan pada masalah hak kepemilikan (common property resource).
 Hak kepemilikan dalam perikanan sulit untuk ditentukan, sehingga dalam pemanfaatannya selalu dihadapkan pada eksploitasi yang berlebih yang berakhi pada eksternalitas. Sebagaimana istilah bagi sumberdaya milik umum atau common property,  yaitu  everybody’s property is nobody’s propertyyang berarti bahwa karena sumberdaya perikanan milik semua orang atau bersifat  common property, maka sumberdaya tersebut tidak ada kepemilikan bagi seseorang.  
 Menurut Fauzi (2010), kondisi seperti ini disebut  ferae naturae, yaitu kondisi dimana hewan atau ikan memiliki sifat alamiah (wild by nature), tidak ada yang berhak mengklaim kepemilikannya dan kepemilikan hanya berlaku ketika seseorang menangkapnya. Dengan kata lain ikan menjadi milik seseorang ketika ikan tersebut telah ditangkap.
  Eksternalitas dalam perikanan merupakan dampak dari pemanfaatan yang berlebih, baik itu konsumsi, produksi, distribusi, maupun industri dari perikanan Eksternalitas dalam perikanan cenderung ke  arah eksternalitas negatif, dimana kegiatan yang dilakukan di sektor perikanan menimbulkan dampak yang merugikan bagi orang lain. Menurut Fauzi (2005), eksternalitas di sektor perikanan misalnya adalah eksternalitas dalam bentuk perebutan daerah tangkapan (space interception externality), dimana masing-masing nelayan ingin mendahului nelayan lainnya untuk mencapai  fishing ground  dan  gear externality  atau eksternalitas alat tangkap, dimana penggunaan satu alat tangkap dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan pada nelayan lain.
Karakteristik lain yang juga merupakan karakteristik unik dari perikanan adalah apa yang disebut sebagai  biological feedback  (umpan balik biologi). Dimana dalam karakteristik ini ikan merupakan  inputdan juga  outputdari sector perikanan. Sumberdaya ikan sangat reaktif terhadap eksploitasi dan kondisi alam yang menyediakan ikan, sehingga menentukan berapa ikan yang bisa diekstrasi. Jadi ketersediaan stok ikan (input) akan menentukan berapa ikan yang bisa ditangkap (Fauzi, 2010).
 


DAFTAR PUSTAKA
  1. Hanna, S. 1999. Strenthening Governance of Ocean Fishery Resources. Ecological Economics Vol. 31 : pp. 275-286.
  2. Dahuri, R. 2004. Membangun Indonesia yang Maju, Makmur dan Mandiri Melalui Pembangunan Maritim. Makalah disampaikan pada Temu Nasional Visi dan Misi Maritim Indonesia dari Sudut Pandang Politik, Jakarta, 18 Februari 2004.
  3. Nohria, N and Gulati, R. 1994. Firms and Their Environments. In : Smelser, N.J. and Swedberg, R. (Eds). The Handbook of Economic Sociology. Princenton University Press. Pricenton, NJ. pp. 529-599.
4.      (Sumber: Majalah Samudera Oktober 2012)
5.      Ekonomi Perikanan Teori, Kebijakan, Dan Pengelolaan Oleh Akhmad Fauzi


 MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN (MSP)
*** OPEN ACCESS END COMMOM PROPERTY***


3 komentar: