Kamis, 23 Oktober 2014

KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA MANGROVE DI DESA AMAHAI



BAB I
PENDAHULUAN

MAKALAH
SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT PESISIR

“KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA MANGROVE DI DESA AMAHAI”


A.       LATAR BELAKANG
Dewasa  ini  sumberdaya  pesisir  dan laut disadari merupakan  suatu  potensi  yang  cukup menjanjikan  dalam  mendukung  tingkat perekonomian  masyarakat  terutama  bagi nelayan. Di  sisi  lain,  konsekuensi  logis yang ditimbulkan dari hal tersebut yaitusumberdaya  pesisir  dan  laut dipandang sebagai sumberdaya  milik  bersama (common property)  dan  terbuka  untuk  umum (open acces)  maka  pemanfaatan  sumberdaya ini  semakin meningkat  di hampir  semua  wilayah. Pemanfaatan  yang  demikian  cenderung melebihi  daya  dukung sumberdaya (over eksploitation).
Kondisi  ini  semakin diperparah  oleh  peningkatan  jumlah armada  penangkapan,    penggunaan  alat dan  teknik  serta  teknologi  penangkapan yang  tidak ramah lingkungan. Secara ideal pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan hidupnya harus mampu  menjamin keberlangsungan fungsi ekologis guna mendukung keberlanjutan usaha perikanan pantai yang ekonomis dan produktif.  Keberlanjutan fungsi  ekologis  akan  menjamin  eksistensi sumberdaya  serta  lingkungan  hidup  ikan (Anggoro, 2000).
Proses pengembangan kawasan pesisir dan laut hendaknya disusun dalam bingkai pendekatan  integralistik yang sinergistik dan harmonis, dengan  memperhatikan sistem nilai dan kelembagaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat serta sejalan dengan  sumber-sumber potensi lokal. Keraf (2002), mengatakan bahwa kearifan lokal/tradisional  adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Dijelaskan pula bahwa kearifan lokal/tradisional merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya di bidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Pengelolaan sumberdaya pesisir pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia atau masyarakat di sekitar kawasan pesisir agar pemanfaatansumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan (Supriharyono, 2002).
Oleh karena itu, dengan adanya kesadaran akan pentingnya memperhatikan kearifan lokal suatu daerah maka keberlanjutan sumberdaya di alam dapat dijamin ketersediaan dan keberlanjutan bagi generasi yang akan datang.

B.     TUJUAN
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Menganalisis potensi dan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut.
2.      Mengetahui nilai-nilai kearifan lokal yang memiliki keterkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam  laut dan pesisir

BAB II
PEMBAHASAN



A.       Jantung dipersarafi oleh sistem saraf otonom yaitu saraf simpatis dan parasimpatis. Serabut – serabut saraf simpatis mempersarafi daerah atrium dan ventrikel termasuk pembuluh darah koroner.Saraf parasimpatis terutam memberikan persarafan pada nodus sinoatrial,atrioventrikular dan serabut – serabut otot atrium, dapat pula menyebar ke ventrikel kiri. LETAK GEOGRAFIS DESA AMAHAI
               Keadaaan geografis dan demografis Desa Amahai adalah terletak di Pulau Seram bagian Selatan, khususnya Kabupaten Maluku Tengah. Desa Amahai memiliki luas wilayah 52 km². Secara geografis desa Amahai terletak pada 3º 7’- 3º 27’ Lintang Selatan 128º 10” - 129º 45” Bujur Timur. Dengan batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara           : Pegunungan Sembilan (Kec. Seram Utara)
Sebelah Selatan        : Laut Banda
Sebelah Barat           : Kecamatan Tehoru
Sebelah Timur          : Kecamatan Telon Nila Serua (TNS)
Jarak desa Amahai dengan Kota Masohi kurang lebih 7 km, sedangkan dari Kota Ambon kurang lebih 142 mil laut

 


 Gb. Pulau Seram


B.        ZONASI MASSTRUKTUR PEMERINTAHAN DESA AMAHAI

Struktur pemerintahan desa Amahai dapat dijelaskan bahwa terdapat tiga bentuk saniri yang dibuat dengan maksud memudahkan jalannya pemerintahan desa, oleh karena itu ketiga dewan ini digolongkan atas tiga kelompok. Saniri raja patih yang beranggotakan dari raja, kepala-kepala soa, kewang, dan marinyo. Saniri raja patih ini dianggap sebagai raja lengkap beranggotakan raja, kepala-kepala soa, mauweng, tuan tanah, kepala adat/kepala suku, ma’atoke, dan kapitan.
Saniri ini dianggap sebagai badan legislatif yang mempunyai tugas membangun dan memperlancar jalannya roda pemerintahan juga mebuat peraturan-peraturan adat, sedangkan saniri lengkap adalah badan tertinggi dan dapat diumpamakan sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat. Keanggotaannya terdiri dari semua anggota saniri lengkap dan saniri raja patih serta semua orang laki-laki yang sudah dewasa.
Struktur pemerintahan desa Amahai dapat digambarkan melalui bagan berikut ini.
Bagan Struktur Pemerintahan Desa Amahai

C.       KONDISI SOSIAL BUDAYAMASYARAKAT DESA AMAHAI
a.      Penduduk
Jumlah penduduk desa Amahai pada tahun 2010 berdasarkan pendataan penduduk berjumlah 3.357 jiwa dengan perincian sebagai berikut : 1.681 laki-laki jiwa dan 1.676 perempuan jiwa. Jumlah KKsebesar 744 KK.
b.      Agama
Kerukunan hidup antar umat beragama di desa Amahai selama ini berjalan cukup baik dimana kondisi ini tercipta tidak terlepas dari peran pemerintah, para pemuka agama, dan institusi keagamaan dalam mendukung terciptanya keserasian dan keselarasan hidup berdasarkan saling menghormati di antara sesamma umat beragama. Agama yang dianut oleh masyarakat desa Amahai dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu Agama Kristen Protestan yang paling dominan, Islam, dan Kristen Katolik.
Jauh sebelum masuk dan berkembangnya agama yang bersifat monoteis, masyarakat Desa Amahai hidup dalam suatu sistem religi yang disebut sebagai primitive religion. Primitive religion terwujud di dalam perilaku masyarakat yang beranggapan adanya kekuatan sakti dalam berbagai bentuk yang terdapat dalam berbagai benda tertentu dan bahwa alam semesta ini selain dihuni oleh berbagai roh terutama juga oleh roh-roh para leluhur dan roh-roh tersebut sangatlah berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Sifat dari pengaruh tersebut (baik atau buruk) sangatlah bergantung pada sikap dan perilaku manusia pada roh-roh tersebut.
Primitive religion adalah kepercayaan yang sifat-sifatnya animism dan dinamism. Roh-roh tersebut dianggap sebagai pelindung negeri dan juga sebagai pelindung adat.
c.       Pendidikan
Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai mutlak diperlukan sebagai faktor pendukung dalam menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Berdasarkan peninjauan terhadap infrastruktur desa, maka sarana pendidikan yang terdapat di desa Amahai secara keseluruhan berjumlah buah diantaranya3 bangunan SD, 1 bangunan SMP, dan 1 bangunan SMA.



d.      Mata Pencaharian
Secara umum jenis mata pencaharian masyarakat desa Amahai dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bagian yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI/POLRI, petani, dan nelayan. Namun sebagian besar masyarakat desa Amahai bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan.
e.       Budaya
Nilai-nilai budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat desa Amahai merupakan salah satu modal dasar bagi peningkatan persatuan dan kesatuan termasuk menyemangati masyarakat dalam melaksanakan pembangunan di daerah ini. Hubungan-hubungan kekerabatan adat dan budaya harus terus terdorong sehingga dapat menciptakan sinergi yang handal dalam upaya membangun desa Amahai di masa mendatang. Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik masyarakat yang multikultural tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan-kesamaan nilai budayasebagai representif nilai kolektif.
Dalam konteks pembangunan daerah, nilai-nilai lokal yang masih ada dan hidup di kalangan masyarakat dapat dipandang sebagai modal sosial yang perlu dimanfaatkan bagi kepentingan pembangunan daerah.

D.       KOMPOSISI JENIS DAN ZONASI MANGROVE
            Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik.
Hutan mangrove di daerah pesisir Amahai telah menurun dengan drastis. Penyebab utama adalah sebagai akibat pertumbuhan penduduk yang pada akhirnya menggunakan areal tempat pemukiman maupun perkebunan. Tumbuhan mangtovr yang hidup pada pesisir ini antara lain adalah jenis Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Bruguiera gymnorrhiza, dan Avicennia marina.
Kemampuan adaptasi dari tiap jenis terhadap keadaan lingkungan menyebabkan terjadinya perbedaan komposisi hutan mangrove dengan batas-batas yang khas. Hal ini merupakan akibat adanya pengaruh dari kondisi tanah, kadar garam, lamanya penggenangan dan arus pasang surut. Komposisi mangrove terdiri dari jenis-jenis yang khas dan jenis tumbuhan lainnya.                                  .
Daya adaptasi atau toleransi jenis tumbuhan mangrove terhadap kondisi lingkungan yang ada mempengaruhi terjadinya zonasi atau permintakatan pada kawasan hutan mangrove. Permintakatan jenis tumbuhan mangrove dapat dilihat sebagai proses suksesi dan merupakan hasil reaksi ekosistem dengan kekuatan yang datang dari luar seperti tipe tanah, salinitas, tingginya ketergenangan air dan pasang surut.
Secara umum pembagian zonasi kawasan mangrove berdasarkan jenis vegetasi yang dominan, mulai dari arah laut ke darat adalah sebagai berikut : 
a.       Zona Avicennia, terletak paling luar dari hutan yang berhadapan langsung dengan laut. Zona ini umumnya memiliki substrat lumpur lembek dan kadar salinitas tinggi. Zona ini merupakan zona pioner karena jenis tumbuhan yang ada memilliki perakaran yang kuat untuk menahan pukulan gelombang, serta mampu membantu dalam proses penimbunan sedimen.
b.      Zona Rhizophora, terletak di belakang zona Avicennia. Substratnya masih berupa lumpur lunak, namun kadar salinitasnya agak rendah. Mangrove pada zona ini masih tergenang pada saat air pasang.
c.       Zona Bruguiera, terletak di balakang zona Rhizophora dan memiliki substrat tanah berlumpur keras. Zona ini hanya terendam pada saat air pasang tertinggi atau 2 kali dalam sebulan.
d.       Zona Nypa, merupakan zona yang paling belakang dan berbatasan dengan daratan.


 Gb. Zonasi Mangrove
 
E.        kkSSSssssBENTUK - BENTUK KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA MANGROVE

a.         Pelaksanaan Sasi
Maluku merupakan provinsi dengan lebih dari seribu pulau. Masyarakat sebagian besar sangat bergantung pada sumberdaya laut. Sejak abad ke 16, sumberdaya di Maluku telah dikelola dengan sistem yang disebut dengan sasi. Defenisi sasi diantaranya adalah seperangkat aturan yang mengatur penggunaan sumberdaya dengan tujuan tertentu untuk menghindari adanya pengambilan sumberdaya hutan dan laut sebelum waktu ditetapkan (Nikijuluw, 1995 dalam fikri, 2007). Menurut Syahputra (2007), secara sederhana, sasi diartikan sebagai larangan untuk mengambil jenis sumberdaya alam tertentu dalam jangka waktu tertentu pula.
Tujuan dilakukannya sasi adalah melindungi dan menjamin ketersediaan sumberdaya tertentu di alam, yang didasarkan pada pengertian tentang proses kelanjutan keturunan makhluk hidup di laut dan siklus pertumbuhan di darat.
Dua bentuk sasi yang ditemukan di Maluku adalah Sasi Kewang, dimana prosesi doa sasi dan larangan diilakukan oleh kewang sebagai petugas keamanan desa serta sanksi atas pelanggaran adat sasi dilaksanakan oleh penguasa desa dan arwah-arwah leluhur. Jenis sanksi  tersebut terakhir ini menjadi dorongan utama untuk mematuhi pantangan karna berasal dari kekuatan gaib, sedangkan sanksi yang dilakukan oleh penguasa desa berupa denda, menjadi tontonan umum, hukuman kerja paksa dan sebagainya. Bentuk yang kedua adalah Sasi Gereja, dimana adat sasi yang dibuat berdasarkan keputusan bersama dewan desa dan majelis jemaat protestan. Doa-doa dipanjatkan untuk memohon berkat Tuhan bagi keberhasilan usaha tani dan kesejahteraan desa dan selama masa yang ditentukan Jemaat dilarang untuk melanggar agar tidak mendapat hukuman dari Tuhan. Sasi secara Gereja seperti ini dilakukan sebagai pergeseran dari sasi kewang yang dirasa kurang efektif berkaitan dengan alasan tidak mudahnya menangkap pelanggar, luasnya wilayah dalam pelaksanaan sasi, keampuhan kekuatan gaib para leluhur merosot, maupun jumlah kewang yang tidak memadai sementara mereka harus membagi waktu untuk melakukan kegiatan lain guna menghidupi keluarganya (Cooley, 1987).
Berdasarkan habitat yang dihuni, sasi dibagi menjadi sasi darat dan laut. Sasi dapat juga dikelompokkan menurut jenis sumberdaya yang disasikan seperti sasi mangrove, sasi lola, sasi lompa, sasi kelapa, sasi cengkeh, sasi pala, dan sebagainya. Namun lebih lanjut akan dijelaskan kegiatan sasi yang dilakukan untuk sumberdaya mangrove.
Sasi merupakan kearifan tradisional yang hadir dalam sosok peraturan adat yang mempertahankan nilai-nilai lama dalam menjaga kelestarian lingkungan yang sudah berkembang sejak abad XVII. Selain itu, sasi juga disebut sebagai metoda konservasi tradisional karena merupakan kesinambungan budaya yang diturunkan dalam bentuk tingkah laku masyarakat, kepercayaan, prinsip-prinsip konvensi tingkah laku dan praktek yang diturunkan dari pengalaman sejarah. Pelaksanaan sasi diawali oleh lembaga kewang yang merupakan lembaga adat yang terdiri atas perwakilan masing-masing soa (marga). Lembaga adat dipimpin oleh seorang kepala kewang yang diangkat menurut warisan dari leluhur berdasarkan keturunan. Para kewang inilah yang berkewajiban mengamankan peraturan-peraturan sasi, mengadakan rapat sasi dan menjatuhkan sanksi kepada masyarakat yang melanggar.
Seperti di desa lainnya, pelaksanaan sasi di desa Amahai tidak jauh berbeda. Pelaksanaan sasi dimulai dengan dilakukannya rapat kewang untuk menentukan sumberdaya yang akan disasi. Lewat rapat kewang inilah ditetapkan sumberdaya atau wilayah yang tertutup dari kegiatan eksploitasi atau yang biasanya disebut dengan istilah tutup sasi. Artinya, selama tutup sasi tidak diperkenankan seorangpun untuk mengambil atau merusak habitat sumberdaya tersebut, sampai waktu yang kemudian diperbolehkan kembali (masa buka sasi). Hasil rapat kewang kemudian disampaikan kepada semua penduduk negeri, termasuk peraturan dan sanksi bagi yang melanggar.
Penutupan sasi untuk sumberdaya mangrove dilakukan selama kurang lebih enam bulan. Setelah melewati jangka waktu yang ditentukan maka akan dilakukan pembukaan sasi. Artinya, dalam masa ini sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan kembali.
Selanjutnya, hambatan di dalam pelaksanaan sasi antara lain lahirnya modernisasi di segala bidang, komersialisasi dan semakin pudarnya nilai-nilai tradisional dalam masyarakat atau kepemimpinan adat yang semakin menurun dalam masyarakat. Hal lain yang merupakan kendala pelaksanaan sasi adalah konflik antara kewang dan aparat pemerintah lokal. Persoalan urbanisasi dan pertumbuhan populasi menyebabkan semakin rusaknya sumberdaya laut sehingga sasi menjadi semakin mengalami tekanan.
b.         Aktivitas Bameti
Tradisi bameti adalah suatu bentuk pencaharian sampingan ketika kebutuhan bahan konsumsi daging ikan mahal di pasar bagi desa-desa yang berada di pesisir pantai. Kegiatan ini adalah sebuah tradisi turun temurun, dari generasi terdahulu di Maluku yang memiliki kekayaan laut lebih dominan.
Aktivitas bameti biasanya dilakukan oleh masyarakat desa Amahai ketika kondisi perairan laut surut karena pada kondisi ini kedalaman perairan tidak sedalam seperti biasanya sehingga organisme yang hidup pada daerah pasang surut dapat diambil dengan mudah. Aktivitas bameti juga sering dilakukan pada daerah pasang surut khususnya pada kawasan ekosistem mangrove. Organisme yang biasanya diambil dalam aktivitas ini yaitu kelompok ikan, Gastropoda, Bivalvia, Crustacea, dan sebagainya.

E.        DAMPAK KEARIFAN LOKAL
Pertumbuhan penduduk yang tinggi, serta pesatnya kegiatan pembangunan di daerah pesisir untuk berbagai peruntukkan seperti pemukiman, perikanan, pelabuhan, dan sebagainya cenderung mengakibatkan peningkatan tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir khususnya ekosistem hutan mangrove. Peningkatan tekanan ini berdampak pada kerusakan ekosistem mangrove. Oleh karena itu, perlu adanya upaya pengelolaan kawasan pesisir terpadu. Dalam hal ini, masyarakat memegang peranan penting sehingga upaya pengelolaan perlu dikaitkan dengan tradisi dan hukum adat yang merupakan kearifan lokal dari masyarakat. Adapun dampak yang ditimbulkan dari kearifan lokal tersebut antar lain seperti disajikan dalam tabel dibawah ini.


 Tabel. Dampak Kearifan Lokal
Kegiatan
Dampak Potensial
Sasi







Aktivitas Bameti
·         Terjaminnya ketersediaansumberdaya mangrove, sehingga fungsi ekologis hutan mangrove dapat dipertahankan.
·         Regenerasi stok ikan dan udang serta hewan akuatik lainnya dapat terus berkelanjutan.
·         Komposisi tumbuhan tidak mengalami perubahan yang signifikan.
·         Meningkatkan sumber pendapatan bagi masyarakat daerah pesisir.




BAB III
PENUTUP



A.                KESIMPULAN
Desa Amahai memiliki potensi yang cukup besar dengan luaswilayah 52 km2. Bentuk-bentuk kearifan lokal yang ditemukan di desa Amahai dan berkaiatan dengan aspek pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut adalah sasi, kegiatan bameti, kegiatan penangkapan ikan, dan sebagainya.Masyarakat desa Amahai sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal, tradisi, aturan-aturan adat. Oleh karena itu, kepatuhan dan ketaatan terhadap nilai-nilai kearifan lokal sangat tinggi pula. Mereka menyadari dan memiliki persepsibahwa kearifan lokal merupakan suatu pranata, norma yang dapat mengatur eksistensi kehidupan manusia dengan eksistensi kehidupan makhluk lain di alam ini. Dengan demikian kearifan lokal mempunyai peluang-peluang dalam pemberdayaan masyarakat pesisir terhadap berbagai program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.

B.                 SARAN
Untuk lebih meningkatkan hasil produksi dalam kegitan penangkapan dan menjamin ketersediaan sumberdaya di alam maka diperlukan program revitalisasi dan refungsionalisasi kearifan lokal melalui kegiatan pengkajian dan seminarmengenai kearifan lokal agar diketahui secara bersama aturan-aturan hukum dan sanksi-sanksi pelanggaran serta sosialisasi kepada publik sehingga dapat menumbuhkan kesadaran bersama mengenai pentingnya pengelolaan sumberdaya secara luas. Dalam hal ini hendaknya pemerintah, LSM dan Perguruan Tinggi menjadi mediator dan fasilitator, dengan mendapat dukungan dan komitmen dari Pemerintah dan DPRD.




DAFTAR PUSTAKA



-          Anggoro, S,. 2004, Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah”,MSDP, UNDIP, Semarang.
-          Badan Pusat Statistik, 2010, Maluku Tengah Dalam Angka 2010”, Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku, Ambon.
-          Ghofar, A., 2004, PengelolaanSumberdaya Perikanan SecaraTerpadu dan Berkelanjutan”,Cipayung-Bogor.
-          Nababan, 2003, PengelolaanSumberdaya Alam BerbasisMasyarakat Adat, Tantangandan Peluang”,http://dte.gn.org.../makalah_ttg_p sda_ berb-ma_di_pplh ipb.htm.
-          Purwanto, 2003, PengelolaanSumberdaya Perikanan”,Direktorat Jendral PerikananTangkap, Departemen Kelautandan Perikanan, Jakarta.
-          Undang-uandang Negara RI, Nomor 31Tahun 2004 tentang Perikanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar