PENDAHULUAN
MAKALAH
SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT PESISIR
“KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN
SUMBERDAYA MANGROVE DI DESA AMAHAI”
A.
LATAR
BELAKANG
Dewasa ini
sumberdaya pesisir dan laut disadari merupakan suatu
potensi yang cukup menjanjikan dalam
mendukung tingkat
perekonomian masyarakat terutama
bagi nelayan. Di sisi lain,
konsekuensi logis yang
ditimbulkan dari hal tersebut yaitusumberdaya
pesisir dan laut dipandang sebagai sumberdaya milik
bersama (common property)
dan terbuka untuk
umum (open acces) maka pemanfaatan
sumberdaya ini semakin
meningkat di hampir semua
wilayah. Pemanfaatan yang demikian
cenderung melebihi daya dukung sumberdaya (over eksploitation).
Kondisi ini
semakin diperparah oleh peningkatan
jumlah armada penangkapan, penggunaan
alat dan teknik serta
teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Secara ideal
pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan hidupnya harus mampu menjamin keberlangsungan fungsi ekologis guna
mendukung keberlanjutan usaha perikanan pantai yang ekonomis dan produktif. Keberlanjutan fungsi ekologis
akan menjamin eksistensi sumberdaya serta
lingkungan hidup ikan (Anggoro, 2000).
Proses
pengembangan kawasan pesisir dan laut hendaknya disusun dalam bingkai
pendekatan integralistik yang
sinergistik dan harmonis, dengan
memperhatikan sistem nilai dan kelembagaan yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat serta sejalan dengan sumber-sumber
potensi lokal. Keraf (2002), mengatakan bahwa kearifan lokal/tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,
pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku
manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Dijelaskan pula bahwa
kearifan lokal/tradisional merupakan bagian dari etika dan moralitas yang
membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan,
bagaimana harus bertindak khususnya di bidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya
alam. Pengelolaan sumberdaya pesisir pada hakekatnya adalah suatu proses
pengontrolan tindakan manusia atau masyarakat di sekitar kawasan pesisir agar
pemanfaatansumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan
kaidah kelestarian lingkungan (Supriharyono, 2002).
Oleh
karena itu, dengan adanya kesadaran akan pentingnya memperhatikan kearifan lokal
suatu daerah maka keberlanjutan sumberdaya di alam dapat dijamin ketersediaan
dan keberlanjutan bagi generasi yang akan datang.
B. TUJUAN
Adapun tujuan dari
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis
potensi dan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut.
2.
Mengetahui nilai-nilai kearifan lokal
yang memiliki keterkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir
BAB II
PEMBAHASAN
A.
LETAK
GEOGRAFIS DESA AMAHAI
Keadaaan geografis dan demografis
Desa Amahai adalah terletak di Pulau Seram bagian Selatan, khususnya Kabupaten
Maluku Tengah. Desa Amahai memiliki luas wilayah 52 km². Secara geografis desa
Amahai terletak pada 3º 7’- 3º 27’ Lintang Selatan 128º 10” - 129º 45” Bujur
Timur. Dengan batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah
Utara : Pegunungan Sembilan
(Kec. Seram Utara)
Sebelah Selatan : Laut Banda
Sebelah
Barat : Kecamatan Tehoru
Sebelah
Timur : Kecamatan Telon Nila
Serua (TNS)
Jarak desa
Amahai dengan Kota Masohi kurang lebih 7 km, sedangkan dari Kota Ambon kurang
lebih 142 mil laut
Gb. Pulau Seram
B.
STRUKTUR
PEMERINTAHAN DESA AMAHAI
Struktur
pemerintahan desa Amahai dapat dijelaskan bahwa terdapat tiga bentuk saniri
yang dibuat dengan maksud memudahkan jalannya pemerintahan desa, oleh karena
itu ketiga dewan ini digolongkan atas tiga kelompok. Saniri raja patih yang
beranggotakan dari raja, kepala-kepala soa, kewang, dan marinyo. Saniri raja
patih ini dianggap sebagai raja lengkap beranggotakan raja, kepala-kepala soa,
mauweng, tuan tanah, kepala adat/kepala suku, ma’atoke, dan kapitan.
Saniri ini
dianggap sebagai badan legislatif yang mempunyai tugas membangun dan
memperlancar jalannya roda pemerintahan juga mebuat peraturan-peraturan adat,
sedangkan saniri lengkap adalah badan tertinggi dan dapat diumpamakan sebagai
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Keanggotaannya terdiri dari semua anggota
saniri lengkap dan saniri raja patih serta semua orang laki-laki yang sudah
dewasa.
Struktur
pemerintahan desa Amahai dapat digambarkan melalui bagan berikut ini.
Bagan
Struktur Pemerintahan Desa Amahai
C.
KONDISI SOSIAL BUDAYAMASYARAKAT DESA
AMAHAI
a.
Penduduk
Jumlah penduduk desa Amahai pada
tahun 2010 berdasarkan pendataan penduduk berjumlah 3.357 jiwa dengan perincian
sebagai berikut : 1.681 laki-laki jiwa dan 1.676 perempuan jiwa. Jumlah
KKsebesar 744 KK.
b. Agama
Kerukunan hidup antar umat beragama di desa Amahai
selama ini berjalan cukup baik dimana kondisi ini tercipta tidak terlepas dari
peran pemerintah, para pemuka agama, dan institusi keagamaan dalam mendukung
terciptanya keserasian dan keselarasan hidup berdasarkan saling menghormati di
antara sesamma umat beragama. Agama yang dianut oleh masyarakat desa Amahai
dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu Agama Kristen Protestan yang paling
dominan, Islam, dan Kristen Katolik.
Jauh sebelum masuk dan berkembangnya agama yang
bersifat monoteis, masyarakat Desa Amahai hidup dalam suatu sistem religi yang
disebut sebagai primitive religion. Primitive religion terwujud di dalam
perilaku masyarakat yang beranggapan adanya kekuatan sakti dalam berbagai
bentuk yang terdapat dalam berbagai benda tertentu dan bahwa alam semesta ini
selain dihuni oleh berbagai roh terutama juga oleh roh-roh para leluhur dan
roh-roh tersebut sangatlah berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Sifat dari
pengaruh tersebut (baik atau buruk) sangatlah bergantung pada sikap dan
perilaku manusia pada roh-roh tersebut.
Primitive
religion adalah kepercayaan yang sifat-sifatnya animism dan dinamism.
Roh-roh tersebut dianggap sebagai pelindung negeri dan juga sebagai pelindung
adat.
c. Pendidikan
Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai
mutlak diperlukan sebagai faktor pendukung dalam menghasilkan sumberdaya
manusia yang berkualitas. Berdasarkan peninjauan terhadap infrastruktur desa,
maka sarana pendidikan yang terdapat di desa Amahai secara keseluruhan
berjumlah buah diantaranya3 bangunan SD, 1 bangunan SMP, dan 1 bangunan SMA.
d. Mata Pencaharian
Secara umum jenis mata pencaharian masyarakat desa
Amahai dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bagian yaitu Pegawai Negeri Sipil
(PNS), TNI/POLRI, petani, dan nelayan. Namun sebagian besar masyarakat desa
Amahai bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan.
e.
Budaya
Nilai-nilai
budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat desa Amahai merupakan
salah satu modal dasar bagi peningkatan persatuan dan kesatuan termasuk
menyemangati masyarakat dalam melaksanakan pembangunan di daerah ini.
Hubungan-hubungan kekerabatan adat dan budaya harus terus terdorong sehingga
dapat menciptakan sinergi yang handal dalam upaya membangun desa Amahai di masa
mendatang. Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik
masyarakat yang multikultural tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan-kesamaan
nilai budayasebagai representif nilai kolektif.
Dalam
konteks pembangunan daerah, nilai-nilai lokal yang masih ada dan hidup di
kalangan masyarakat dapat dipandang sebagai modal sosial yang perlu
dimanfaatkan bagi kepentingan pembangunan daerah.
D.
KOMPOSISI JENIS DAN ZONASI MANGROVE
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa
berair payau
yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut
air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran
dan akumulasi bahan organik.
Hutan mangrove di daerah pesisir
Amahai telah menurun dengan drastis. Penyebab utama adalah
sebagai akibat pertumbuhan penduduk yang pada akhirnya menggunakan areal tempat
pemukiman maupun perkebunan. Tumbuhan mangtovr yang hidup pada pesisir ini
antara lain adalah jenis Rhizophora
stylosa, Sonneratia alba, Bruguiera gymnorrhiza, dan
Avicennia marina.
Kemampuan adaptasi dari tiap jenis
terhadap keadaan lingkungan menyebabkan terjadinya perbedaan komposisi hutan
mangrove dengan batas-batas yang khas. Hal ini merupakan akibat adanya pengaruh
dari kondisi tanah, kadar garam, lamanya penggenangan dan arus pasang surut.
Komposisi mangrove terdiri dari jenis-jenis yang khas dan jenis tumbuhan
lainnya. .
Daya
adaptasi atau toleransi jenis tumbuhan mangrove terhadap kondisi lingkungan
yang ada mempengaruhi terjadinya zonasi atau permintakatan pada kawasan hutan
mangrove. Permintakatan jenis tumbuhan mangrove dapat dilihat sebagai proses
suksesi dan merupakan hasil reaksi ekosistem dengan kekuatan yang datang dari
luar seperti tipe tanah, salinitas, tingginya ketergenangan air dan pasang
surut.
Secara
umum pembagian zonasi kawasan mangrove berdasarkan jenis vegetasi yang dominan,
mulai dari arah laut ke darat adalah sebagai berikut :
a. Zona Avicennia, terletak paling luar
dari hutan yang berhadapan langsung dengan laut. Zona ini umumnya memiliki
substrat lumpur lembek dan kadar salinitas tinggi. Zona ini merupakan zona
pioner karena jenis tumbuhan yang ada memilliki perakaran yang kuat untuk
menahan pukulan gelombang, serta mampu membantu dalam proses penimbunan
sedimen.
b. Zona Rhizophora, terletak di
belakang zona Avicennia. Substratnya masih berupa lumpur lunak, namun kadar
salinitasnya agak rendah. Mangrove pada zona ini masih tergenang pada saat air
pasang.
c. Zona Bruguiera, terletak di balakang
zona Rhizophora dan memiliki substrat tanah berlumpur keras. Zona ini hanya
terendam pada saat air pasang tertinggi atau 2 kali dalam sebulan.
d. Zona Nypa, merupakan zona yang paling belakang
dan berbatasan dengan daratan.
Gb.
Zonasi Mangrove
E.
BENTUK - BENTUK KEARIFAN LOKAL
DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA MANGROVE
a.
Pelaksanaan
Sasi
Maluku merupakan provinsi dengan lebih dari seribu
pulau. Masyarakat sebagian besar sangat bergantung pada sumberdaya laut. Sejak
abad ke 16, sumberdaya di Maluku telah dikelola dengan sistem yang disebut dengan
sasi. Defenisi sasi diantaranya adalah seperangkat aturan yang mengatur
penggunaan sumberdaya dengan tujuan tertentu untuk menghindari adanya
pengambilan sumberdaya hutan dan laut sebelum waktu ditetapkan (Nikijuluw, 1995
dalam fikri, 2007). Menurut Syahputra (2007), secara sederhana, sasi diartikan
sebagai larangan untuk mengambil jenis sumberdaya alam tertentu dalam jangka
waktu tertentu pula.
Tujuan dilakukannya sasi adalah melindungi dan
menjamin ketersediaan sumberdaya tertentu di alam, yang didasarkan pada
pengertian tentang proses kelanjutan keturunan makhluk hidup di laut dan siklus
pertumbuhan di darat.
Dua bentuk sasi yang ditemukan di Maluku adalah Sasi
Kewang, dimana prosesi doa sasi dan larangan diilakukan oleh kewang sebagai
petugas keamanan desa serta sanksi atas pelanggaran adat sasi dilaksanakan oleh
penguasa desa dan arwah-arwah leluhur. Jenis sanksi tersebut terakhir ini menjadi dorongan utama
untuk mematuhi pantangan karna berasal dari kekuatan gaib, sedangkan sanksi
yang dilakukan oleh penguasa desa berupa denda, menjadi tontonan umum, hukuman
kerja paksa dan sebagainya. Bentuk yang kedua adalah Sasi Gereja, dimana adat
sasi yang dibuat berdasarkan keputusan bersama dewan desa dan majelis jemaat
protestan. Doa-doa dipanjatkan untuk memohon berkat Tuhan bagi keberhasilan
usaha tani dan kesejahteraan desa dan selama masa yang ditentukan Jemaat
dilarang untuk melanggar agar tidak mendapat hukuman dari Tuhan. Sasi secara
Gereja seperti ini dilakukan sebagai pergeseran dari sasi kewang yang dirasa
kurang efektif berkaitan dengan alasan tidak mudahnya menangkap pelanggar,
luasnya wilayah dalam pelaksanaan sasi, keampuhan kekuatan gaib para leluhur
merosot, maupun jumlah kewang yang tidak memadai sementara mereka harus membagi
waktu untuk melakukan kegiatan lain guna menghidupi keluarganya (Cooley, 1987).
Berdasarkan habitat yang dihuni, sasi dibagi menjadi
sasi darat dan laut. Sasi dapat juga dikelompokkan menurut jenis sumberdaya
yang disasikan seperti sasi mangrove, sasi lola, sasi lompa, sasi kelapa, sasi
cengkeh, sasi pala, dan sebagainya. Namun lebih lanjut akan dijelaskan kegiatan
sasi yang dilakukan untuk sumberdaya mangrove.
Sasi merupakan kearifan tradisional yang hadir dalam
sosok peraturan adat yang mempertahankan nilai-nilai lama dalam menjaga
kelestarian lingkungan yang sudah berkembang sejak abad XVII. Selain itu, sasi juga
disebut sebagai metoda konservasi tradisional karena merupakan kesinambungan
budaya yang diturunkan dalam bentuk tingkah laku masyarakat, kepercayaan,
prinsip-prinsip konvensi tingkah laku dan praktek yang diturunkan dari
pengalaman sejarah. Pelaksanaan sasi diawali oleh lembaga kewang yang merupakan
lembaga adat yang terdiri atas perwakilan masing-masing soa (marga). Lembaga
adat dipimpin oleh seorang kepala kewang yang diangkat menurut warisan dari
leluhur berdasarkan keturunan. Para kewang inilah yang berkewajiban mengamankan
peraturan-peraturan sasi, mengadakan rapat sasi dan menjatuhkan sanksi kepada
masyarakat yang melanggar.
Seperti di desa lainnya, pelaksanaan sasi di desa
Amahai tidak jauh berbeda. Pelaksanaan sasi dimulai dengan dilakukannya rapat
kewang untuk menentukan sumberdaya yang akan disasi. Lewat rapat kewang inilah
ditetapkan sumberdaya atau wilayah yang tertutup dari kegiatan eksploitasi atau
yang biasanya disebut dengan istilah tutup sasi. Artinya, selama tutup sasi
tidak diperkenankan seorangpun untuk mengambil atau merusak habitat sumberdaya
tersebut, sampai waktu yang kemudian diperbolehkan kembali (masa buka sasi).
Hasil rapat kewang kemudian disampaikan kepada semua penduduk negeri, termasuk
peraturan dan sanksi bagi yang melanggar.
Penutupan sasi untuk sumberdaya mangrove dilakukan
selama kurang lebih enam bulan. Setelah melewati jangka waktu yang ditentukan
maka akan dilakukan pembukaan sasi. Artinya, dalam masa ini sumberdaya tersebut
dapat dimanfaatkan kembali.
Selanjutnya, hambatan di dalam pelaksanaan sasi
antara lain lahirnya modernisasi di segala bidang, komersialisasi dan semakin
pudarnya nilai-nilai tradisional dalam masyarakat atau kepemimpinan adat yang
semakin menurun dalam masyarakat. Hal lain yang merupakan kendala pelaksanaan
sasi adalah konflik antara kewang dan aparat pemerintah lokal. Persoalan
urbanisasi dan pertumbuhan populasi menyebabkan semakin rusaknya sumberdaya
laut sehingga sasi menjadi semakin mengalami tekanan.
b.
Aktivitas
Bameti
Tradisi bameti
adalah suatu bentuk pencaharian sampingan ketika kebutuhan bahan konsumsi
daging ikan mahal di pasar bagi desa-desa yang berada di pesisir pantai. Kegiatan
ini adalah sebuah tradisi turun temurun, dari generasi terdahulu di Maluku yang
memiliki kekayaan laut lebih dominan.
Aktivitas bameti
biasanya dilakukan oleh masyarakat desa Amahai ketika kondisi perairan laut
surut karena pada kondisi ini kedalaman perairan tidak sedalam seperti biasanya
sehingga organisme yang hidup pada daerah pasang surut dapat diambil dengan
mudah. Aktivitas bameti juga sering dilakukan pada daerah pasang surut khususnya
pada kawasan ekosistem mangrove. Organisme yang biasanya diambil dalam
aktivitas ini yaitu kelompok ikan, Gastropoda, Bivalvia, Crustacea, dan
sebagainya.
E.
DAMPAK
KEARIFAN LOKAL
Pertumbuhan
penduduk yang tinggi, serta pesatnya kegiatan pembangunan di daerah pesisir
untuk berbagai peruntukkan seperti pemukiman, perikanan, pelabuhan, dan
sebagainya cenderung mengakibatkan peningkatan tekanan ekologis terhadap
ekosistem pesisir khususnya ekosistem hutan mangrove. Peningkatan tekanan ini
berdampak pada kerusakan ekosistem mangrove. Oleh karena itu, perlu adanya
upaya pengelolaan kawasan pesisir terpadu. Dalam hal ini, masyarakat memegang
peranan penting sehingga upaya pengelolaan perlu dikaitkan dengan tradisi dan
hukum adat yang merupakan kearifan lokal dari masyarakat. Adapun dampak yang
ditimbulkan dari kearifan lokal tersebut antar lain seperti disajikan dalam
tabel dibawah ini.
Tabel.
Dampak Kearifan Lokal
Kegiatan
|
Dampak Potensial
|
Sasi
Aktivitas Bameti
|
·
Terjaminnya ketersediaansumberdaya mangrove,
sehingga fungsi ekologis hutan mangrove dapat dipertahankan.
·
Regenerasi stok ikan dan udang serta hewan akuatik
lainnya dapat terus berkelanjutan.
·
Komposisi tumbuhan tidak mengalami perubahan yang
signifikan.
·
Meningkatkan sumber pendapatan bagi masyarakat
daerah pesisir.
|
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Desa
Amahai memiliki potensi yang cukup besar dengan luaswilayah 52 km2. Bentuk-bentuk
kearifan lokal yang ditemukan di desa Amahai dan berkaiatan dengan aspek
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut adalah sasi, kegiatan bameti, kegiatan penangkapan ikan, dan sebagainya.Masyarakat
desa Amahai sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal, tradisi, aturan-aturan
adat. Oleh karena itu, kepatuhan dan ketaatan terhadap nilai-nilai kearifan
lokal sangat tinggi pula. Mereka menyadari dan memiliki persepsibahwa kearifan
lokal merupakan suatu pranata, norma yang dapat mengatur eksistensi kehidupan
manusia dengan eksistensi kehidupan makhluk lain di alam ini. Dengan demikian
kearifan lokal mempunyai peluang-peluang dalam pemberdayaan masyarakat pesisir
terhadap berbagai program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.
B.
SARAN
Untuk
lebih meningkatkan hasil produksi dalam kegitan penangkapan dan menjamin
ketersediaan sumberdaya di alam maka diperlukan program revitalisasi dan
refungsionalisasi kearifan lokal melalui kegiatan pengkajian dan
seminarmengenai kearifan lokal agar diketahui secara bersama aturan-aturan
hukum dan sanksi-sanksi pelanggaran serta sosialisasi kepada publik sehingga
dapat menumbuhkan kesadaran bersama mengenai pentingnya pengelolaan sumberdaya
secara luas. Dalam hal ini hendaknya pemerintah, LSM dan Perguruan Tinggi menjadi
mediator dan fasilitator, dengan mendapat dukungan dan komitmen dari Pemerintah
dan DPRD.
DAFTAR PUSTAKA
-
Anggoro, S,. 2004, “Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah”,MSDP,
UNDIP, Semarang.
-
Badan Pusat Statistik, 2010,
”Maluku Tengah Dalam Angka 2010”,
Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku, Ambon.
-
Ghofar, A., 2004, ”PengelolaanSumberdaya Perikanan SecaraTerpadu
dan Berkelanjutan”,Cipayung-Bogor.
-
Nababan, 2003, “PengelolaanSumberdaya Alam BerbasisMasyarakat
Adat, Tantangandan Peluang”,http://dte.gn.org.../makalah_ttg_p
sda_ berb-ma_di_pplh ipb.htm.
-
Purwanto, 2003, “PengelolaanSumberdaya Perikanan”,Direktorat
Jendral PerikananTangkap, Departemen Kelautandan Perikanan, Jakarta.
-
Undang-uandang Negara RI,
Nomor 31Tahun 2004 tentang Perikanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar