Kamis, 23 Oktober 2014

Konservasi Sumber daya hayati laut



Konservasi Sumber daya hayati laut

Secara umum konservasi mengandung pengertian suatu usaha yang dilakukan secara terencana dengan tujuan untuk menjaga kontinuitas (keberlanjutan) satu sumberdaya (bisa berupa hewan atau tumbuhan, atau juga suumberdaya tak terdaur ulang) terhadap ancaman kepunahan. Tujuannya adalah agar sumberdaya tersebut bisa dipergunakan atau dinikmati oleh generasi saat ini dan generasi yang akan dating.
Tindakan konservasi bisa dilakukan pada tingkat lokal atau pada tingkat yang lebih luas (Kawasan) dan bukan dibatasi oleh batas administrasi atau politik tetapi lebih banyak oleh faktor lingkungan. Dari sisi organismenya, konservasi bisa dilakukan pada tingkat gen didalam species dan pada tingkat komunitas tergantung dari status organism yang akan dikonservasi.
Integrasi antar lembaga
Tindakan untuk memutuskan dilakukannya suatu konservasi harus dilakukan atas dasar terintegrasi. Misalnya keputusan untuk melakukan konservasi terhadap sumberdaya hayati laut, dugong (ikan duyung) sebagai contoh, bukan hanya merupakan keputusan Kementrian Kelautan dan Perikanan (untuk Indonesia), tetapi melibatkan orang/institusi pertanian, orang/institusi pekerjaan umum karena ada kegiatan dari sektor-sektor itu yang dampaknya bisa mengalir ke sungai dan sampai di daerah konservasi. Ada orang hukum untuk mengatur Undang-udangnya, ada sosiologi budaya untuk mengajak masyarakt turut berpartisipasi. Intinya harus ada integrasi lintas sektor dan lintas ilmu pengetahuan.
Hewan/organism mana yang perlu dikonservasi 

Kadang kita jumpai pemberlakuan konservasi yang tidak tepat sasaran karena ada vested of interest, ada pula kawasan yang sudah dikonservasi kemudian berubah statusnya menjadi kawasan budidaya. Keadaan dibawah ini merupakan fakta-fakta  yang kita alami yang menjadi dasar pertimbangan adanya keputusan pemberlakuan konservasi.
·                    Jumlah species organism yang kita ketahui saat ini adalah sebanyak 1,4 juta spesiec dan ada kemungkinan 2 kali jumlah species yang belum kita ketahui sampai dengan saat ini.
·                    Tanpa sepengetahuan kita setiap hari ada species yang punah atau hilang bahkan mungkin saja species yang hilang tersebut belum kita ketahui keberadaannya.
·                    Keputusan species atau komunitas mana yang akan kita lindungi atau dikonservasi haruslah dilakukan secara terintegrasi
Langkah-langkah yang perlu dalam konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) adalah sebagai berikut:
§     Penelitian penentuan taksonomi atau penentuan jenis/species yang bisa dilakukan dengan pendekatan DNA (genetic approach) sebab terkadang species yang sama tetapi karena perbedaan demografi mengalami perubahan morfologi tertentu. Dengan pendekatan DNA penentuan taksonomi akan lebih tepat.
§     Penelitian tarapan untuk menentukan species budidaya artinya bahwa lewat pendekatan budidaya kita bisa melakukan tindakan konservasi terhadap organism yang terancam punah.
§     Kesulitann yang dihadapi: SDM yang terbatas dalam melakukan langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam konservasi serta biaya yang cukup tinggi untuk kenservasi. Contoh: Hutan-hutan di wilayah Amazon, Congo, dan Papua, sebagai contoh biasanya terdapat dipedalaman, jauh dari pusat kota dengan jumlah penduduk yang sedikit. Dengan demikian harga tanahnya menjadi murah dan kadang harganya sama dengan sewa Lahan untuk menebang. Tetapi biaya untuk mengkonservasi daerah tersebut jauh lebih tinggi dari harga untuk menebang sumberdayanya. 

Pertimbangan keputusan pemberlakuan konservasi
Karena kendala-kendala diatas maka dalam penetuan pemberlakuan konservasi maka beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
a)                  Kekhasan
Bila komunitasa tersebut lebih banyak tersusun atas spscies endemic dari species yang umu serta tersebar luas Satu  species dapat diberi nilai tinggi apabila secara taksonomi bersifat unik: species yang merupakan anggota tunggal dalam marga atau family.
b)                  Keterancaman
Species yang menghadapi ancaman kepunahanakan lebih emndapat perhatian dibandingkan species yang tidak atau belum terancam kepunahan. Contoh badak jawa yg hanya tingga 50 individu (2003), atau blue whale.
c)                  Kegunaan/Manfaat
Species yang mempunyai kegunaan nyata atau potensial bagi manusia memiliki prioritas untuk dikonservasi dibandingkan yang memiliki kegunaan yang tidak jelas. Pada keadaan tertentu ada species yang secara manfaat tidak memiliki nyata bagi manusia tetapi nilindungi (bequest value – kepentingan keragaman semata)
Penelitian strategis dan strategi pendekatan
Untuk sampai pada keputusan pemberlakuan konservasi maka diperlukan penelitian strategis untuk menjawab ketiga pertimbangan tersebut diatas.Kadang juga keputusan pemberlakuan konservasi didasarkan pertimbangan politis dan ad hoc Penggunaan sains dan teknologi akan lebih berhasil dibandingak politik karena didasarkan atas studi ekologi, habitat, evolusi dan lain sebagainya. Beberapa bidang ilmu yang menunjang konservasi adalah: biologi konservasi, kehutanan, ekonomi Sumberdaya (natural resources vakuation – untuk kasus SD hayati laut kita kenal coastal valuation), ilmu social dan budaya serta teknologi pencitraan (membantu dalam menentukan Kawasan konservasi).
Ada tiga prinsip yang dicanangkan dalam melakukan konservasi terhadap keanekaragan hayati yaitu: save, study, dan use. Pada pendekatan save dapat dijabarkan sebagai usaha pengelolaan, legislasi, perjanjian internasional (kalau menyangkut kepentingan global), Pada tingkatan use (pemanfaatan) berupa manfaat bagi masyarakat, komoditi-komoditi perdagangan (e.g. top shell – Trochus niloticus – dilindungi tapi diperdagangkan pada tingkat pemanfaatan tertentu biasanya kita kenal dengan istilah total allowable catch  artinya ada quota yang diberikan). Pada strategi study penelitian dapat meliputi penelitian-penelitian dasar seperti penelitian keragaman jenis, habitat, komunitas, ekosistem, perilaku serta ekologi dari species. Semua dilakukan secara interdisipliner dan terintegrasi.
Contoh kasus
Pelaksanaan sasi sebagian besar didasarkan atas pengalaman yang dilakukan secata turun temurun. Penentuan tutup sasi dan buka sasi, luas Kawasan sasi, kebanyakan ditentukan berdasarkan pengalaman dari pengamatan sederhana di alam. Prinsip atau manfaatnya baik tetapi sebaiknya didudkung lebih lanjut dengan penelitian strategis. Penentuan tutup dan buka sasi, seberapa banyak yang boleh dipanen, seberapa besar luas Kawasan sasi akan lebih berhasil lewat penelitian.
Konservasi insitu vs exsitu
Setelah sampai pada keputusan pemberlakuan konservasi maka pertanyaan lanjutan adalah apakah akan dilakukan secara insitu ataukah exsitu. Dalam konservasi insitu dimaksudkan bahwa konservasi populasi dan komunitas dilakukan di habitat alami. Konservasi insitu lebih baik karena kemampuan species/individu untuk beradaptasi akan jauh lebih baik.
Pada konservasi exsitu konservasi dilakukan di luar Kawasan alami karena species/komunitas yang terancam berada dalam jumlah yang terbatas/minim  Konservasi dilakukan seperti di kebun binatang, kebun raya, aquarium, bank benih.
Konservasi pada tingkat species dan populasi
Tingkat yang paling rendah dalam koservasi adalah konservasi species dan tingkat keberhasilan konservasi ini ditentukan oleh keragaman genetik didalam species. Variasi genetik menentukan kemampuan survival (bertahan hidup) biota dalam jangka pendek. Survival biota selanjutnya menentukan tingkatan yang lebih tinggi diatasnya (species dan komunitas). Keragaman genetik species sangat diperlukan karena populasi yang memiliki keregaman genetik yang rendah sangat rentan terhadap perubahan lingkungan (adaptasi linkungan) sehingga sangat berisiko mengalami kepunahan. Dengan keragaman genetik yang rendah sangat rentan terhadap kemungkinan inbreeding.
Tingkat keragaman genetuk yang tinggi yang dinyatakan  sebagai heterogenitas (H) berpeluang meningkatkan peluang hidup suatu populasi sepanjang rentang waktu ekologi. Variasi genetik memiliki arti penting bagi fitness atau daya hidup satu species. Persoalannya adalah sulit untuk menyelamatkan setiap populasi, setiap variasi morfologi, dan setiap alel (allele – bentuk yang unik dari satu gen tunggal). .Perubahan iklim dan perubahan lingkungan yang begitu tinggi menyebabkan banyak species yang hilang tanpa kita bisa berbuat banyak. Populasi dianggap sebagai unit yang layak untuk dikonservasi. Ditinjau dari segi genetik, populasi didefinisikan sebagai deme yaitu interbreeding  secara acak dari populasi lokal.  
Keragaman genetik total (H) suatu species juga ditentukan oleh sebaran geografis populasi-populasi angotanya. Apa bila terjadi penghalang proses migrasi sebagai akibat keadaan geografis maka mengganggu aliran gen dan selanjutnya  dapat memecahkan populasi alamiah kedalam subpopulasi  yang dapat berbeda secara genetik sehingga keragaman genetik total (H) dapat dipilah kedalam dua komponen utama yaitu
1)      Keragaman genetik rata-rata didalam setiap sub populasi atau HS dan
2)      perbedaan frekuensi alel antar sub-populasi (DST)
Pengrusakan habitat menyebabkan fragmentasi populasi sementara geografis juga menimbulkan adanya subpopulasi. Kedua hal ini menyebabkan terhambatnya aliran gen yang menghubungkan subpopulasi sehingga menyebabkan kontribusi relatif HS dan DST terhadap nilai HT bergeser karena proses genetic drift (hanyutnya gen). Proses gen drifting yang berlangsung lama selanjutnya akan menurunkan heterogenitas genetik dalam subpopulasi dan sebaliknya meningkatkan diferensi genetik antar subpopulasi. Pada populasi yang berukuran kecil (hampir punah) penurunan heterogenitas ini sangat mengancam keberlanjutan populasi tersebut.
Tingkat keragaman genetik diantara dua populasi menghasilkan populasi efektif (Ne) dan laju migrasi (m) yaitu perbandingan pertukatan individu diantara populasi per generasi. Jika Ne (populasi efektif) kecil maka populasi akan cendrung menyebar karena terjadi erosi genetik. Untuk mencegah penyebaran diperlukan laju migrasi (m) yang tinggi. Didalam manajemen diperlukan keseimbangan proporsi Ne. Sebagai contoh ada hukum 50/500 yang menyatakan bahwa jumpal populasi  efektif (Ne) minimal 50 individu untuk konservasi keragaman genetik dalam jangka pendek dan untuk mencegak terjadinya tekanan inbreeding diperlukan Ne = 500  supaya tidak terjadi erosi genetik dalam janka panjang. Hal ini menunjukan bahwa dalam konservasi diperlukan memperhitungkan berapa besar populasi yang dibutuhkan. Tetapi hal ini tidak selamanya demikian sebab mungkin diperlukan lebih dari 50 dan 500 individu dalam breeding species dalam jumlah ratusan atau ribuan individu untuk breeding secara kelompok (koloni).
Perlu diperhatikan bahwa aturan-aturan yang bersifat kuantitatif diatas (20/500) perlu diterapkan secara hati-hati dan aturan kualitatif merupakan pilihan lain yang bisa digunakan dalam manajemen variasi genetk. Beberapa pedoman genetik kualitatif  dalam konservasi antara lain mencakup:
1)             Jumlah populasi efektif (Ne – tingkat keragaman genetik diantara dua populasi) yang lebih besar adalah lebih baik dibandingkan populasi yang lebih kecil sebab kehilangan variasi genetik akan lebih lama.
2)             Efek negatif erosi gen dan inbreeding berbanding terbalik dengan jumlah populasi. Maka perlu dihindari manajemen yang tidak bersifat alami dengan jumlah populasi yang sedikit.
3)             Keragaman genetik yang rendah bukan tanda bahaya sebab terdapat beberapa species yang secara historis mempunyai keragaman genetik yang rendah
4)             Menghindari seleksi alam di penangkaran. Hal yang terbaik untuk dikerjakan adalah memelihara populasi dalam penangkaran selama beberapa generasi semampu mungkin dngan meniru kondisi alam semirip mungkin.
5)             Setelah populasi rusak, maka pertumbhan populasi harus segera dipercepat supaya peristiwa bottle neck dapat dihindari. Peristiwa dimana populasi mengalami penyusutan luar biasa dalam waktu dan ruang, sehingga terjadi berkurangnya keberagaman genetik.
6)             Pengambilan hasil dari stok di alam bebas (berburu, memancing) yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan terseleksinya species atau terjadinya perubahan genetik yang dapat mempengaruhi evolusi dimasa mendatang baik pada tingkat populasi maupun species.
Keterbatasan genetik dalam konservasi
Walalupun genetik memainkan peranan penting dalam biodiversity conservation tetapi ada beberapa keterbatasan dari genetika antara lain:
1.              Masih merupakan cabang ilmu yang baru dan masih perlu terus dikembangkan.
2.              Beberapa teknik biayanya mahal, tidak mudah dipelajari dan dapat terjadi kekeliruan dalam aplikasinya bila masih kurang pengalaman;
3.              Sampel jaringan tanaman atau hewan perlu dipersiapkan dengan teliti; sampel dari lokasi yang jauh biasanya cukup sulit untuk ditangani sehingga mudah rusak;
4.              Untuk kebutuhan sampel, seringkali harus menghancurkan/membunuh individu atau minimal menangkap supaya bisa memperoleh jaringan (e.g. badak, ikan paus dll) apalagi kalau speceis tersebut masuk kategori terancam punah (Catatan: perkembangan teknologi akhir ini memungkinkan orang untuk mempelajari DNA dari sampel kotoran, tidak harus dari darah atau jaringan).

Jenis-jenis biota laut yang dilindungi – Tugas lewat internet.
Konservasi pada tingkat kawasan

Pada penjelasan sebelumnya kita berbiacra tentang konservasi pada tingkat species dan populasi. Pada pengertian ini kita membatasi diri pada wilayah yang terbatas, pada populasi organisme tertentu pada tingkat species. Dalam konservasi kawasan kita berbicara pada batasan wilayah yang lebih luas yang kita sebut sebagai “kawasan konservasi.” Kawasan konsevasi biasanya dilindungi undang-undang sehing sering juga disebut sebagai “kawasan lindung.”Dalam pengertian umum kawasan biasanya di batasi oleh luasan-luasan tertentu bisa berupa batas-batas administrasi. Dalam kawasan konservasi, batasan lebih banyak ditentukan oleh batas ekologi.

Kenapa harus menggunakan kawasan dalam konservasi
Dalam program konservasi, batasan kawasan yang dipakai seharusnya berdasarkan pendekatan atau batasan bioekologi. Kadang kepentingan politik maka batasan ekologi bisa saja tidak dipergunakan. Perhatikan kasus daerah gambut di Kalimantan, oleh para ahli lingkungan daerah tersebut tidak direkomendasikan untuk dijadikan kawasan produksi tetapi karena pengaruh politik akhirnya berubah. Dampaknya adalah merusak kawasan tersebut seperti sering terjadinya kasus kebakaran.
Jika dilihat secara sistem maka didalam satu kawasan tertentu terdapat sub-sistem yang lain yang terkait satu dengan yang lainnya. Dikawasan pesisir sebagai contoh bisa kita jumpai  seperti sub-sistem hutan mangrove, sub-sistem padang lamun, sub-sistem terumbu karang, estuari, komunitas yang mendiami sub-sistem tersebut dan berinterkasi satu dengan yang lainnya. Ada juga sub-sistem manusia yang mendiami daerah tersebut yang memanfaatkan sub-sub sistem tersebut. Dengan demikian secara sistem, pendekatan konservasinya harus berdasarkan kawasan dan terintegrasi satu dengan yang lainnya.
Contoh kasus:
konservasi penyu harus mencakup wilayah yang luas karena melihat pola migrasinya luas(oceanic migration). Kalau kita hanya membatasi konservasi pada daerah tertentu,tempat bertelur sebagai contoh, sementara sifat migrasi yang luas tidak dipertimbangkan maka usaha kita bisa sia-sia.
Penetapan tatar ruang nasional maupun ditingkat wilayah merupakan langkah maju dalam penentuan ruang wilayah berdasarkan kesesuaian peruntukan wilayah tertentu. Ada undang-undang yang mengatur tata ruang (nasional dan wilayah), ada Agenda 21 (Internasional dan nasional) yang mengatur keberlanjutan pembangunan, ada pula Kepmen Kementrian Kelautan dan Perikanan yang mengatur  pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan namun masih ada masalah dalam pelaksanaannya a.l.
1.      Pendekatannya lebih bersifat top down dan seringkali tidak melibatkan peran serta masyarakat dibawah;
2.      Bentuk partisipatif (peran serta) yang ada lebih banyak berupa melakukan apa yg sudah diputuskan oleh perencana dan masyarakat diwaibkan mendukung. Partisipatif lebih banyak berbentuk sosialisasi pelaksanaan keputusan.
3.      Ada pertentangan antara satu undang-undang/keputusan dengan keputuan yang lain. Ada kawasan yang sudah ditetapkan secara hukum sebagai kawasan lindung/konservasi, tetapi ada undang-undang/keputusan lain yang membolehkan kegiataan eksploitasi di kawasan lindung tersebut.

Apa itu kawasan dan mengapa
Pengertian kawasan konservasi laut menurut IUCN (19988) mendefinisikan Kawasan Konservasi Laut (KKL) sebagai:
Suatu kawasan laut atau paparan subtidal, termasuk perairan yang menutupinya, flora, fauna, sisi sejarah dan budaya yang terkait didalamnya dan telah dilindungi oleh hukum atau peraturan lainnya untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan tersebut.
Beberapa hal yang bisa dikemukakan disini berdasarkan pengertian tersebut diatas adalah:
1.      Terdapat beberapa cabang ilmu atau departemen yang tergabung dalam kawasan ini;
2.      Diperlakuakan keterpaduan perencanaan, penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi tersebut guna menghindari konflik kepentingan antar departemen atau badan lainnya dan mencapai keberlanjutan SDA. Kebanyakan konflik menyebabkan masyarakat lokal disekitar kawasan yang menjadi korban.
Beberapa istilah atau nama yang biasanya kite temukan sehubungan dengan konservasi ini antara lain adalah “reserve” (cadangan), “suntuary” (perlindungan), “park” (taman) dan lainnya tetapi pada prinsipnya semua istilah atau nama itu memiliki tujuan untuk menjaga atau menyelamatkan ekosistem dan sumberdaya alam yang ada didalam ekosistem tersebut termasuk wilayah laut. Menurut IUCN (1994) beberapa tujuan kawasan konservasi termasuk didalamnya kawasan konservasi wilayah laut yaitu:
a)      Melindungi dan mengelola sistem laut dan estuari supaya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainable) dalam jangka panjang dan mempertahankan keanekaragaman genetiknya (H)
b)      Untuk melindungi penurunan, tekanan, populasi dan species langka terutama pengawetan habitat untuk kelangsungan hidup organisme tersebut.
c)      Melindungi dan mengelola kawasan yang secara nyata merupakan silus hidup species ekonomis penting (mangrove misalnya)
d)     Mencegah aktivitas luar yang memungkinkan menimbulkan kerusakan pada kawasan konservasi laut.
e)      Memberikan kesejahteraan yang berkelanjutan kepada masyarakat dengan menciptakan kawasan konservasi laut; menyelamatkan, melindungi, dan mengelola daerah2 mulut sungai dan estuaria yang mempunyai nilai sejarah dan budaya serta nilai-nilai estetika alam untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang;
f)       Mempermudah dalam menginterpretasikan sistem laut dan estuari untuk tujuan konservasi, pendidikan, dan pariwisata.
g)      Menyediakan pengelolaan yang sesuai yang mempunyai spektrum luas bagi aktivitas manusia dengan tujuan utamanya adalah penataan laut dan estuaria.
h)      Menyediakan sarana untuk penelitian dan pelatihan dan untuk pemantauan pengaruh aktivitas manusia terhadap lingkungan termasuk pengaruh langsung dan tidak langsung dari pembangunan dan pemanfaatan lahan di daratan.
Bila kita perhatikan tujuan pengadaan suatu kawasan konservasi laut maka terlihat bahwa cakupan manfaat tersebut cukup luas dan masih berupa sesuatu yang bersifat makro. Oleh badan perlindungan alam PBB yaitu IUCN melalui Commission on Natural Park and Protected Area kemudian menyusun suatu daftar pengelolaan kawasan konservasi yang sesuai dengan peruntukannya yang pada akhirnya mencerminkan ciri atau tipe kawasan konservasi tersebut yaitu:
1)                  Kawasan Cagar Alam, untuk tujuan perlindungan yang ketat (strict protection zone);
2)                  Taman Nasional untuk tujuan konservasi ekosistem dan rekreasi;
3)                  Monumen alam, untuk tujuan konservasi keistimewaan alam;
4)                  Kawasan Pengelolaan Habitat/species, untuk tujuan konservasi melalui pengelolaan yang aktif;
5)                  Perlindungan Bentangan Alam atau Bentang Laut, untuk ujuan konservasi bentang alam/bentang laut dan rekreasi;
6)                  Kawasan Konservasi SDA yang terkelola untuk tujuan pengelolaan ekosistem alam dengan pemanfaatan yang cocok.
Tabel berikut ini memperlihatkan matriks tujuan pengelolaan dan kategori atau tipe kawasan konservasi tersebut.
No
Tujuan pengelolaan
Tipe kawasan konservasi


Ia
Ib
II
III
IV
V
VI
1
Penelitian ilmiah
1
3
2
2
2
2
3
2
Perlindgn hutan raya (wildernes)
2
1
2
3
3
-
2
3
Penyelamatan biodiversity sp dan genetik
1
2
1
1
1
2
1
4
Pemeliharaan lingkungan
2
1
1
-
1
2
1
5
Perlindungan budaya spesifik secara alami
-
-
2
1
3
1
3
6
Pariwisata dan rekreasi
-
2
1
1
3
1
3
7
Pendidikan
-
-
2
2
3
2
3
8
Pemanfaatan SDA yg ramah lingkungan
-
3
3
-
2
2
1
9
Pemeliharaan sifat-sifat tradisi budaya
-
-
-
-
-
1
2

Keterangan:
1.      = Tujuan primer
2.      = Tujuan sekunder
3.      = Secara potensial tujuannya dapat diaplikasikan
-       = tidak dapat diaplikasikan
Jika kita memperhatikan tujuan penetapan kawasan konservasi laut (Marine Protected Area – MPA) seperti yang dikemukakan oleh IUCN (1994), maka dengan pemberlakuan segala aturan yang berlaku di kawasan konservasi, maka ada beberapa manfaat kawasan konservasi laut yang bisa kita kemukakan disini yaitu:
1)             Terjaminnya keberlanjutan hidup ekosistem laut didaerah kawasanyang selanjutnya akan tercapai keberlanjuan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan;
2)             Terlindungnya jumlah populasi organisme dari kemungkinan ancaman aktivitas manusia, terutama keselamatan species langka;
3)             terpeliharanya siklus hidup species terutama yang mempunyai nilai ekonomis penting;
4)             Terjaganya kawasan dari aktivitas luar yang memungikinkan terjadinya perusakan kawasan konservasi laut; dengan demikian akan terpelihara SDH laut yang merupakan sumber kehidupan atau kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan;
5)             Tersedianya sarana dan prasarana pengelolaan yang sesuai, yang mempunyai spektrum luas bagi aktivitas manusia dengan tujuan utama penataan laut dan estuaria;
6)             Tersedianya tempat penelitian dan pelatihan dan pemantauan pengaruh ativitas manusia.

Prospek pengembangan kawasan konservasi laut

Keberhasilan pelaksanaan suatu program termasuk program konservasi SDH laut ditentukan oleh lebih dari satu faktor diantaranya perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Untuk kasus KSDH Laut maka pada tahapan perencanaan termasuk disitu penelitian-penelitian dasar genetika, habitat, sosial budaya masyarakat, penentuan species/organisme konservasi berdasarkan kriteri kekhasan, keterancaman, dan kegunaan/manfaat. Dari segi pengelolaan termasuk didalamnya, SDM yang tersedia, sumber dana, perangkat hukum, penegakan hukum. Semua faktor-faktor diatas akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan kawasan konservasi pada umumnya.
Di Indonesia, interfensi kepentingan politik dan bisnis serta perangkat hukum dan penegakan hukum serta SDM masih merupakan kendala utama disamping pemahaman masyarakat tentang pentingnya prinsip keberlanjutan lingkungan dan sumber daya alam. Disamping itu masalah dana juga merupakan masalah karena pengelolaan konservasi sering membutuhkan dana yang besar. Riset-riset molekuler biologi biasanya merupakan riset-riset yang mahal dan membutuhkan peralatan dan SDM yang memadai.
Konservasi SDA termasuk SDH laut bukan lagi merupakan masalah satu negara tertentu tetapi merupakan masalah internasional secara sistem, hutan hujan tropis sebagai contoh, adalah masalah internasional sehingga keterlibatan pihak atau badan-badan internasional ada dalam program konservasi. Persoalannya adalah sampai sejauh mana komitmen kita terhadap pelaksanaan program konservasi tersebut. Pada saat program konservasi berjalan baik dan tujuan pelaksanaannya tercapai, maka sumber-sumber dana dari pihak luar akan cukup tersedia. Beberapa contoh bantuan dari luar utuk program konservasi seperti Man and Biosphere untuk penyelamatan hutan, COREMAP (Coral Reef Management Program) untuk program penyelamatan kawasan konservasi SDH laut khususnya terumbu karang yang didanai Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank – ADB).

Pendekatan Perencanaan Kawasan Konservasi

Perencanaan pembuatan suatu kawasan konservasi haruslah dilakukan secara cermat dan melibatkan setiap stake holder yang berkepentingan dengan sumberdaya yang akan dikonservasi. Perencanaan harus dilakukan secara terintegrasi. Kadang dengan alasan-alasan yang tidak memadai lalu diputuskan pemberlakuan suatu area menjadi kawasan konservasi. Begitu ada masalah, tanpa satu pertimbangan dan perencanaan yang matang langsung dilakukan pemberlakuan konservasi. Disebutkan didepan bahwa ada tiga kriteria utama yang perlu dipertimbangkan yaitu kekhasan, nilai manfaat, dan tingkat keterancaman terhadap satu sumberdaya/lingkungan.
Untuk menentukan pilihan pengelolaan termasuk konservasi maka pada tingkat awal perlu melakukan suatu perencanaan yang baik yang mencakup pertimbangan-pertimbangan yang bersifat ekonomis, lingkungan/biologi, dan sosial budaya. Semua itu perlu didukung oleh data yang akurat guna keperluan perencanaan. Berikut disampaikan secara singkat beberapa pertimbangan dalam perencanaan kawasan konservasi.
Pertimbangan ekonomi
Pertimbangan ini berhubungan dengan nilai ekonomi satu sumberdaya alam yang ada dikawasan konservasi (laut). Pertimbangan ini antara lain meliputi beberapa hal sbb:
·                Apakah daerah yang akan dikonservasi itu penting secara ekonomi bagi masyarakat sekitar kawasan tersebut seperti tempat untuk berusaha untuk pemenuhan kebutuhan hidup (subsistens) mereka. Apakah mereka memanfaatkan SDA yg ada seperti ikan, udang, bahan-bahan lain seperti karang mati untuk kebutuhan bangunan dll. Pada daerah-daerah pulau kecil yang bersifat insularitas (jauh dari pulau induk), hal tersebut menjadi lebih penting.
·                Apakah daerah tersebut menghasilkan SDA yang mempunyai nilai ekonomis penting baik berupa barang dan jasa lingkungan dan apakah barang dan jasa tersebut guna pasar lokal atau regional bahkan internasional.Semakin tinggi nilai ekonomi SDA dan jasa maka semakin tinggi pula tingkat pemanfaatannya, semakin terancam SDA dan jasa lingkungan yang ada. Contoh ekpoitasi pasir dibeberapa daerah di Kep. Riau yang sudah menyebabkan tenggelamnya pulau, Kalau pulau tersebut merupakan pulau terluar maka akan merobah titik batas kita dengan negara tetangga.
Pertimbangan lingkungan
Pertimbangan lingkungan disnini meliputihal-hal sebagai berikut:
·                Stabilitas fisik pantai seperti misalnya tersedianya hutan mangrove yang secara fisik mempertahankan pantai dari gelombang laut dan ancaman abrasi atau secara ekologis sebagi tempat pemijahan, mencari makan, tempat pembesaran berbagai organisme tertentu;
·                Apakah lingkungan tersebut secara ekonomis memiliki barang dan/atau jasa yang memiliki nilia ekonomis penting seperti SDA hayati laut yang bernilai ekonomis penting atau barang-barang bernilai sejarah sehingga  perlu untuk dilindungi;
·                Apakah ada tanda-tanda terjadinya kerusakan lingkungan sebagai akibat aktivitas manusia seperti sedimentasi, penebangan liar, destructive fishing (pangkapan ikan dengan cara-cara tidak ramah lingkungan); terjadinya eutrafikasi (alga booming – red tide) dan lain-lan bahan pencemar;
Pertimbangan sosial-budaya
Beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan dari aspek sosial budaya antara lain:
·                Apakah ada nilai-nilai sosial budaya seperti adat istiadat/tradisi penting yang berhubungan dengan kawasan konservasi (kepercayaan tertentu masyarakat lokal terhadap SDA yang akan dikonservasikan)
·                Apakah ada pola atau kebiasaan hubungan sosial-budaya masyarakat yang yang bisa membantu  atau menjadi ancaman terhadap pelaksanaan konservasi msalnya penggunaan SDA hayati tertentu untuk ritual-ritual adat (contoh: penggunaan daging penyu untuk acara adat suku tertentu)
Pemberlakuan satu kawasan konservasi (termasuk konservasi wilayah pesisir dan laut) terutama kawasan dimana ada masyarakat lokal yang beraktivitas disitu akan membawa dampak kepada masyarakat tersebut. Pada kasus dimana masyarakat tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan SDA didaerah atau kawasan konservasi maka potensi konflik akan timbul. Untuk itu sudah harus dipikirkan sejak awal perencanaan beberapa hal sebagai berikut:
§    apakah ada sumber-sumber atau produk-produk pengganti lain yang ada disekitar kawasan konservasi sebagai produk pengganti.
§    Ataukah bagaimana melibatkan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi sebagai kompensasi atas pemberlakuan kawasan konservasi tersebut.
Pertimbangan lain yang perlu dipikirkan adalah apakah dengan pemberlakuan kawasan konservasi dimaksud dapat menjadi subjek dari suatu obligasi internasional seperti The World Heritage, The Biosphere Reserve Program. Kalau ada, maka ini akan sangat membantu dalam pendanaan pengelolaan kawasan konservasi.
Setelah semua data yang dirasakan perlu untuk perencanaan kawasan konservasi terkumpulkan maka tahap selanjutnya adalah menganalisis data tersebut untuk menentukan apakah perlu untuk memberlakukan kawasan konservasi pada wilayah tertentu. Berdasarkan data yang terkumpul maka beberapa pertanyaan yang perlu dimunculkan disi adalah:
1.      Issue mengenai pengelolaan utama (major management) dan alasan-alasannya.
2.      Mana yang merupakan prioritas yang paling penting dari berbagai macam prioritas yang ada;
3.      Pemusatan kajian pada informasi/data yang tidak lengkap dan berusaha untuk memperkecil pengaruhnya terhadap perencanaan
4.      Bagaimana mengatasi kemungkinan konflik antar sektor yang kemungkinan muncul dalam perencanaan sampai pemberlakuan konservasi dan
5.      Kemungkinan pilihan pengelolaan yang tersedia

Pengelolaan Kawasan Konservasi: Pendekatan sistem
Melihat banyaknya aspek yang perlu diterimbangkan dan banyaknya stake holder yang berkepentingan dalam perencanaan sampai pemberlakuan satu kawasan konsevasi dan kemungkinan munculnya konflik kepentingan maka salah satu cara yang efektif dalam mengurangi konsflik adalah pendekatan sistem. Pendekatan sistem baik sistem lingkungan (bio-ekologi) maupun sistem non lingkungan.
Dalam sistem non lingkungan dimaksudkan bahwa semua pihak yang berkepentingan dengan kawasan yang direncanakan untuk menjadi kawasan konservasi perlu bersama-sama mendiskusikan hal-hal yang berhubungan dengan rencana pemberlakuakn konservasi.  Masyarakat, pemerintah lewat departemen terkait, lembaga swasta (LSM, pengusaha, tokoh-tokoh masyarakat) perlu terlibat bersama-sama dalam proses ini. Pendekatan yang terintegrasi ini diharapkan akan dapat mengurangi conflict of interest antar lembaga dan masyarakat dan mencapai hasil yang optimal dalam pemberlakuan kawasan konservasi. Pendekatan semacam ini dalam teori sistem disebut pendekatan sistem (system approach).
Pendekatan sistem ini juga berlaku untuk pertimbangan bioekologi dan lebih populer dengan nama pendekatan sistem lingkungan atau ecosystem approach, Dalam sejarah pengelolaan sumberdaya alam, termasuk perikanan, bidang-bidang ilmu seperti ekologi, biologi perikanan, oseanografi, manajemen perikanan, dan industri perikanan dalam kegiatannya berjalan sendiri-sendiri. Sejak tahun 1980an, terjadi peningkatan perhatian yang diberikan kepada aspek multispecies dari perikanan, hubungan antara oseanografi dan kelimpahan ikan dan pendekatan yang lebih holistik terhadap manajemen sumber daya termasuk perikanan (EATF, 2003).  Pendekatan berbasiskan ekosistem memiliki keunggulan secara nyata dalam meningkatkan dan mengembangkan manajemen sumberdaya perikanan.
Konservasi SDH laut sebagai bagian dari manajemen sumberdaya perairan juga tidak terlepas dari pendekatan secara sistem ekologi ini. Hal yang baru dan berbeda dalam pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan sumberdaya alam, termasuk konservasi,  adalah pendekatan ini memberikan suatu penilaian terhadap komponen-komponen berbeda dari lingkungan perairan laut, dan harus diperhitungkan, sebagai akibat dari teori sistem, elemen-elemen kemanusiaan dan non kemanusiaan dari lingkungan laut dan keterkaitannya yang nampak (Ward et al. 2002; EATF, 2003). Manajemen yang berbasiskan ekosistem dengan demikian membutuhkan perhatian yang lebih dalam sehingga tujuan manajemennya harus ditentukan kembali dan prosesnya diimplementasikan didalam semua badan yang terkait dalam manajemen tersebut. Meskipun data (komponen) masalah sosial dalam pendekatan yang lama tidak dianggap sebagai bagian dari manajemen sumberdaya alam, akan tetapi menurut konsep lingkungan aspek bilogi dan sosiologi tidak terpisahkan (EATF, 2003). Hubungan tersebut dapat kita lihat pada Gambar 2.1. yang memperlihatkan keterkaitan tersebut yang terjadi di wilayah pesisir termasuk wilayah konservasi sumberdaya hayati laut,
 


 
 Gambar 1.       Diagram yang menunjukan interaksi yang tak terpisahkan (inextricably linked) antara komponen pada suatu kawasan konservasi (Modifikasi dari: Cicin-Sain dan Knecht, 1998; Debance, 1999 dalam Adrianto, 2004).
Pola pengelolaan kawasan konservasi sering menjadi perdebatan ketidakberhasilannya dibandingkan berhasil. Sering kali pengelola hanya berfokus pada apa yang ada dalam kawasan konservasi sedangkan ang diluar tidak atau kurang diperhitungkan. Sebagai contoh kawasan diluar itu yang sering kita sebut sebagai buffer zone (zona penyanggah) dikelola oleh organisasi lain. Dalam pola yang terpisah semacam ini, manajer konservasi lebih memfokus pada kawasan konservasi, sementara yang diluar tidak diperhatikan. Masyarakat diperbolehkan memanfaatkan buffer zone tadi sehingga bisa terjadi masalah dengan kawasan konservasi masyarakat yang sering dipersalahkan. Masyarakat kurang dilibatkan dalam kawasan konservasi sehingga ketika mereka tidak diperbolehkan mengambil hasil didalam kawasan itu maka sering terjadi konflik.
Untuk mengelola kawasan konservasi dengan pendekatan ekosistem, maka diperlukan pemahaman yang lebih luas tentang bagaimana sistem bekerja. Untu memahami hal semacam ini maka tim ahli dari berbagai disiplin ilmu harus ada untuk membantu pihak pengelola dalam mengelola kawasan tersebut mulai dari perencanaan, rencana aksi dan pemantauannya. Penentuan cakupan ekosistem  juga jangan sampai terlalu luas karena akan melibatkan terlalu banyak institusi dan lembaga yang membuat menjadi lebih kompleks. (Catatan: ingat prinsip kekhasan, pemanfaatan, dan keterancaman).
Pendekatan ekosistem dipakai karena secara umum pendekatan ini lebih diharapkan menjamin proses ekologi bisa berkelanjutan dengan baik.meskipun kawasan tersebut didayagunakan. Untuk itu diperlukan berbagai informasi ilmiah yang akurat baik tentang proses ekologi dikawasan hutan, sungai, laut, pesisir maupun kawasan yang telah dibudidayakan. Grumble (1994) dalam Supriatna, 2008) memberikan definisi konservasi berbasiskan ekosistem sebagai berikut: “
pengelolaan kawasan ekosistem dilakukan dengan memadukan berbagai pengetahuan ilmiah tentang proses-proses ekologi dalam kerangka sosial politik dan nilai-nilai yang kompleks dengan tujuan untuk melindungi integritas ekosistem lokal dan sinambung dalam jangka panjang.”
Grumble(1994) kemudian mengidentifikasi 10 tugas dominan dalam pengelolaan ekosistem yaitu: 1) jenjang sistem keanekaragaman; 2) pengetahuan batas ekologi; 3) integritas batas ekologi; 4) sistematika dan riset dan koleksi data; 5) monitoring; 6) manajemen adaptifl7) kerjasama antar sektor; 8) perubahan organisasi; 9) manusia sebagai komponen ekosistem dan 10) nilai manusia dalam mencapai tujuan.

1)             Jenjang sistem keanekaragaman hayati.
Ada jenjang atau hirarki dalam keanekaragaman hayati, dimulai dari skala paling kecil (keanekaragaman genetik), keanekaragaman species, populasi, ekosistem dan lanskep. Didalam keanekaragamdan hirarki ini terdapat juga interaksi diantara setiap jenjang tersebut. Dalam pengelolaan ekosistem kita harus mampu melihat bagaimana proses yang terjadi dalam kawasan tersebut. Contoh: kalau hendak melestarikan penyu, misalnya, kita harus tahu tingkatan penyu tersebut dalam berbagai tingakatn sistem (preadtor and pray relationship), kita perlu tahu keanekaragaman genetik yang akan mencegah terjadinya genetic drifting dan inbreeding.. Kita juga harus tahu seberapa luas penyebaran opulasinya.


2)             Pengetahuan batas ekologi
Dalam pendekatan sistem maka batas yang harus menjadi satu kawasan   adalah batas ekologi, pengelolaan ekosistem harus memperhatikan batas-batas biofisik dan ekosistem. Sebagai contoh ada kawasan yang mencakp dua atau lebih wilayah administratif dan daerah tersebut harus menjadi satu kawasan konservasi.

3)             Integritas ekologi
Dalam pengelolaan ekosistem kita perlu memahami berbagai tingkatan ekologi yg disebutkan diatas (gen, species, populasi, komunitas, lanskep, proses-proses ekologi, evolusi dan sebagainya) yg ikut memelihara kehidupan biologi. Pengaruh manusia dapat membuat tingkat integritas ekologi menurun, tetapi sering sukar untuk melihat seberapa besar pengaruh kegiatan manusia terhadap proses-proses ekologi dan evolusi. Untuk melihat itu biasanya dilakukan perbandingan antara sebelum dan sesudah adanya kegiatan manusia pada satu ekosistem. Perbandingan juga bisa dilakukan terhadap tempat yang berbeda dengan tempat yg lain dengan keadaan ekologi yang sama.

4)             Koleksi data
Untuk kebutuhan hal-hal diatas diperlukan pengumpulandata yang akurat seperti data heterogentitas genetik (H), species dominan, endemik sepecies, data fisik, ekologi, data sosial budaya masyarakat, data ekonomi dan lain-lain yang berhubungan dengan kebutuhan perecanaan konservasi. 

5)             Pemantauan
Pemantauan sangat diperlukan dalam pengelolaan konservasi, lewat pemantauan diperoleh hasil yang bisa dipakai sebagai umpan balik untuk pengelolaan yang lebih efektif lagi. Pemantauan dilakukan pada berbagai aspek yang ada relevansinya dengan konservai misalnya, efektivitas pelaksanaan konservasi, peraturan-peraturan yang ada, dampak konservasi kepada masyarakat dan tujuan konservasi itu sendiri.

6)             Pengelolaan bersifat adaptif
Kawasan ekosisitem memiliki keragaman yang tinggi termasuk pula dengan masyarakat yang berada disekitar kawasan tersebut terutama dalam konteks sosal eknomi mereka. Pengelolaan kawasan konservasi dengan demikian tidak sama dari satu tempat ketempat yang lain, harus menyesuaikan (adaptive) dengan keadaan lokal  Pengelolan tidak harus mengikuti pola pengelolaan yang biasanya sudah baku dan merupakan standard. Pola yang sudah ada atau dibuat bisa dianggap sebagai working hypothesis yang menjadi semacam panduan umum.
Dalam pengelolaan adaptif, fungsi monitoring atau pemantauan ini yang akan membantu pengelola untuk melakukan adaptasi terhada keadaan setempat yang dialami sewaktu pelaksanaan program konservasi.

7)             Kerjasama antar organisasi/lembaga
Banyak kasus dimana terjadi tumpang-tindih kegiatan disatu kawasan konservasi, sehingga pemberlakuan konservasi tidak efektif. Dalam pendekatan ekosistem, semua pihak yang berkepentingan dengan kawasan konservai harus terlibat dalam kerja-sama, Masyarakat, pengelola, instansi pemerintah terkait, pengusaha (yang memanfaatkan kawasan utk tujuan pariwisata), tokoh-tokoh adat. Kerjasama bukan hanya saat perencanaan, tetapi dalam pelaksanaan. Harus ada kegiatan yang bersifat rutin selama pengelolaan kawasan tersebut.

8)             Perubahan struktur pelaksana
Struktur pelaksana pengelolaan konservasi yang biasa berbeda dengan struktur pelaksana pengelolaan konservasi berbasis ekosistem. Semakin baik kita memahami ekosisem kawasan konservasi, semakin mudah kita menyusun struktur pelaksana dalam kawasan tersebut. Ada kelompok-kelompok struktur pelaksana (kelompok ahli ekologi, biologi konservasi, sekuriti, dll) tetapi semua bekerja secara terintegrasi.

9)             Manusia sebagai bagian dari alam
Manusia merupakan bagian inti dalam pengelolaan ekosistem, sebagai salah satu bagian dari ekosistem manusia memegang peran penting. Perubahan-perubahan yang terjadi saat ini lebih banyak diakibatkan oleh manusia itu sendiri. Perubahan-perubahan itu tidak hanya mempengaruhi ekosistem tetapi juga manusia yang tinggal atau merupakan bagian dari ekosistem tersebut.
Manusia memiliki tanggung jawab sebagai penjaga dan pelindung ekosistem karena manusia merupakan komponen utama yang menyebabkan atau yang bisa mengendalikan perubahan yang terjadi. Tidak mungkin mengendalikan perubahan yang sedang terjadi tetapi sebisa mungkin mngurangi atau mengendalikan perilaku manusia yang merusak. Oleh sebab itu manusia/masyarakat harus turut serta dalam program konservasi yang dilaksanakan.

10)         Nilai-nilai kearifan lokal
Dalam kenyataan, sangat sedikit hutan dan kawasan pantai dan  daerah pesisir yang tidak didiami manusia baik sebagai daerah baru maupun yang sudah bepuluh tahun bahkan ratusan tahun. Manusia bahkan lebih banyak mendiami kawasan pesisir dibandingkan di darat. Komunitas manusia yang sudah mendiami kawasan tersebut berpuluh bahkan beratus tahun memiliki pengetahun secara tradisional dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada disekitar mereka. Pengetahuan semacam ini kita kenal dengan istilah kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan. Cara yang arif itu yang mengilhami bentuk-bentuk manajemen ekosistem yang bijaksana. Dimaluku dan Papua kita kenal sasi, di Kalimantan ada Banoa, cara pengelolaan hutan yang bijaksana dll.

Bentuk hubungan masyarakat sekitar dengan kawasan konservasi
Dalam konservasi disebutkan bahwa manusia merupakan unsur utama dalam pelaksanaan konsrvasi. Bahwa sering disekitar kawasan konservasi dijumpai masyarakat yang sudah mendiami kawasan tersebut dalam jangka waktu yang lama dan memanfaatkan SDA yang ada disekitar dan didalam awasan yang menjadi tujuan konservasi. Bahwa untuk menghindari kemungkinan terjadinya konflik maka masyarakat yang ada disekitar kawasan tersebut perlu untuk dilibatkan. Clark (1999) didalam Supriatna (2008) menyebutkan ada 7 kemungkinan hubungan antara masyarakat sekitar dengan kawasan konservasi sebagai berikut:
1)             Public relation. Memberikan pengertian kepada masyarakat tentang arti dan nilai dari keanekaragaman hayati khususnya risiko dan keuntungan kalau mereka mengekploitasinya. Kadang hal ini sulit terutama apabila masyarakat sangat bergantung pada SDA yang ada dalam kawasan tersebut.
2)             Consultation diskusi dengan masyarakat sekitar untuk mengetahui permasalahan mereka dan bagaimana cara bersama-sama untuk mengatasi masalah tersebut dengan cara winpwin solution antara kepentingan kawasan konservasi dan kepentingan masyarakat
3)             Deriving benefit. Dicarikan jalan dimana masyarakat sekitar mungkin mendapat keuntungan dari sekitar atau dari daerah buffer zone (zona penyanggah) kawasan konsrvasi seperti keuntungan dari ekowisata atau sebagai pekerja didalam atau diluar daerah konservasi;
4)             Revenue sharing.  Dibuatkan suatu mekanisme dimana hasil keuntungan pembangunan kawasan di kawasan buffer zone (zona penyanggah) dibagi keuntungannya dengan masyarakat sekitar;
5)             Resource harvesting. Masyarakat sekitar diijinkan memanen species tertentu yang tidak dilindungi didalam kawasan, tetapi hal ini harus angat berhati-hatikarena bisa mempengaruhi ekosistem, kecuali kita mampu merencanakannya dengan baik;
6)             Participation management. Perwakilan dari masyarakat sekitar duduk didalam badan pengelola kawasan konservasi, tetapi keputusannya tidak bersifat teknis tetapi lebih kepada perencanaan umum; dan
7)             Transfer of management. Pengelolaan kawasan konservasi dberikan kepada masyarakat sekitar. Ini juga harus dilakukan dengan hati-hati dan sudah melalui pertimbangan yang teliti. Ada beberapa tempat di Afrika dan di Asia (Nepal) yang melakukan hal seperti ini.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar