Konservasi Sumber daya hayati laut
Secara
umum konservasi mengandung pengertian suatu usaha yang dilakukan secara
terencana dengan tujuan untuk menjaga kontinuitas (keberlanjutan) satu sumberdaya
(bisa berupa hewan atau tumbuhan, atau juga suumberdaya tak terdaur ulang)
terhadap ancaman kepunahan. Tujuannya adalah agar sumberdaya tersebut bisa
dipergunakan atau dinikmati oleh generasi saat ini dan generasi yang akan dating.
Tindakan
konservasi bisa dilakukan pada tingkat lokal atau pada tingkat yang lebih luas
(Kawasan) dan bukan dibatasi oleh batas administrasi atau politik tetapi lebih
banyak oleh faktor lingkungan. Dari sisi organismenya, konservasi bisa
dilakukan pada tingkat gen didalam species dan pada tingkat komunitas
tergantung dari status organism yang akan dikonservasi.
Integrasi
antar lembaga
Tindakan
untuk memutuskan dilakukannya suatu konservasi harus dilakukan atas dasar
terintegrasi. Misalnya keputusan untuk melakukan konservasi terhadap sumberdaya
hayati laut, dugong (ikan duyung) sebagai contoh, bukan hanya merupakan
keputusan Kementrian Kelautan dan Perikanan (untuk Indonesia), tetapi
melibatkan orang/institusi pertanian, orang/institusi pekerjaan umum karena ada
kegiatan dari sektor-sektor itu yang dampaknya bisa mengalir ke sungai dan
sampai di daerah konservasi. Ada orang hukum untuk mengatur Undang-udangnya,
ada sosiologi budaya untuk mengajak masyarakt turut berpartisipasi. Intinya harus
ada integrasi lintas sektor dan lintas ilmu pengetahuan.
Hewan/organism mana
yang perlu dikonservasi
Kadang
kita jumpai pemberlakuan konservasi yang tidak tepat sasaran karena ada vested of interest, ada pula kawasan
yang sudah dikonservasi kemudian berubah statusnya menjadi kawasan budidaya.
Keadaan dibawah ini merupakan fakta-fakta yang kita alami yang menjadi dasar
pertimbangan adanya keputusan pemberlakuan konservasi.
·
Jumlah species organism yang kita
ketahui saat ini adalah sebanyak 1,4 juta spesiec dan ada kemungkinan 2 kali
jumlah species yang belum kita ketahui sampai dengan saat ini.
·
Tanpa sepengetahuan kita setiap hari ada
species yang punah atau hilang bahkan mungkin saja species yang hilang tersebut
belum kita ketahui keberadaannya.
·
Keputusan species atau komunitas mana
yang akan kita lindungi atau dikonservasi haruslah dilakukan secara
terintegrasi
Langkah-langkah
yang perlu dalam konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) adalah sebagai berikut:
§ Penelitian
penentuan taksonomi atau penentuan jenis/species yang bisa
dilakukan dengan pendekatan DNA (genetic
approach) sebab terkadang species yang sama tetapi karena perbedaan
demografi mengalami perubahan morfologi tertentu. Dengan pendekatan DNA
penentuan taksonomi akan lebih tepat.
§ Penelitian
tarapan untuk menentukan species budidaya artinya bahwa
lewat pendekatan budidaya kita bisa melakukan tindakan konservasi terhadap
organism yang terancam punah.
§ Kesulitann
yang dihadapi: SDM yang terbatas dalam melakukan
langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam konservasi serta biaya yang cukup
tinggi untuk kenservasi. Contoh: Hutan-hutan di wilayah Amazon, Congo,
dan Papua, sebagai contoh biasanya terdapat dipedalaman, jauh dari pusat kota
dengan jumlah penduduk yang sedikit. Dengan demikian harga tanahnya menjadi
murah dan kadang harganya sama dengan sewa Lahan untuk menebang. Tetapi biaya
untuk mengkonservasi daerah tersebut jauh lebih tinggi dari harga untuk
menebang sumberdayanya.
Pertimbangan keputusan
pemberlakuan konservasi
Karena
kendala-kendala diatas maka dalam penetuan pemberlakuan konservasi maka
beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
a)
Kekhasan
Bila komunitasa tersebut lebih banyak tersusun atas
spscies endemic dari species yang umu serta tersebar luas Satu species dapat diberi nilai tinggi apabila
secara taksonomi bersifat unik: species yang merupakan anggota tunggal dalam
marga atau family.
b)
Keterancaman
Species yang menghadapi ancaman kepunahanakan lebih
emndapat perhatian dibandingkan species yang tidak atau belum terancam
kepunahan. Contoh badak jawa yg hanya tingga 50 individu (2003), atau blue
whale.
c)
Kegunaan/Manfaat
Species yang mempunyai kegunaan nyata atau potensial
bagi manusia memiliki prioritas untuk dikonservasi dibandingkan yang memiliki
kegunaan yang tidak jelas. Pada keadaan tertentu ada species yang secara
manfaat tidak memiliki nyata bagi manusia tetapi nilindungi (bequest value – kepentingan keragaman
semata)
Penelitian strategis
dan strategi pendekatan
Untuk
sampai pada keputusan pemberlakuan konservasi maka diperlukan penelitian
strategis untuk menjawab ketiga pertimbangan tersebut diatas.Kadang juga
keputusan pemberlakuan konservasi didasarkan pertimbangan politis dan ad hoc Penggunaan sains dan teknologi
akan lebih berhasil dibandingak politik karena didasarkan atas studi ekologi,
habitat, evolusi dan lain sebagainya. Beberapa bidang ilmu yang menunjang
konservasi adalah: biologi konservasi, kehutanan, ekonomi Sumberdaya (natural resources vakuation – untuk
kasus SD hayati laut kita kenal coastal
valuation), ilmu social dan budaya serta teknologi pencitraan (membantu
dalam menentukan Kawasan konservasi).
Ada
tiga prinsip yang dicanangkan dalam melakukan konservasi terhadap keanekaragan
hayati yaitu: save, study, dan use. Pada pendekatan save
dapat dijabarkan sebagai usaha pengelolaan, legislasi, perjanjian internasional
(kalau menyangkut kepentingan global), Pada tingkatan use (pemanfaatan) berupa manfaat bagi
masyarakat, komoditi-komoditi perdagangan (e.g.
top shell – Trochus niloticus –
dilindungi tapi diperdagangkan pada tingkat pemanfaatan tertentu biasanya kita
kenal dengan istilah total allowable
catch artinya ada quota yang diberikan). Pada
strategi study penelitian dapat meliputi penelitian-penelitian
dasar seperti penelitian keragaman jenis, habitat, komunitas, ekosistem,
perilaku serta ekologi dari species. Semua dilakukan secara interdisipliner dan
terintegrasi.
Contoh
kasus
Pelaksanaan
sasi sebagian besar didasarkan atas pengalaman yang dilakukan secata turun
temurun. Penentuan tutup sasi dan buka sasi, luas Kawasan sasi, kebanyakan
ditentukan berdasarkan pengalaman dari pengamatan sederhana di alam. Prinsip
atau manfaatnya baik tetapi sebaiknya didudkung lebih lanjut dengan penelitian
strategis. Penentuan tutup dan buka sasi, seberapa banyak yang boleh dipanen,
seberapa besar luas Kawasan sasi akan lebih berhasil lewat penelitian.
Konservasi insitu vs exsitu
Setelah
sampai pada keputusan pemberlakuan konservasi maka pertanyaan lanjutan adalah
apakah akan dilakukan secara insitu ataukah
exsitu. Dalam konservasi insitu dimaksudkan bahwa konservasi
populasi dan komunitas dilakukan di habitat alami. Konservasi insitu lebih baik karena kemampuan species/individu
untuk beradaptasi akan jauh lebih baik.
Pada
konservasi exsitu konservasi
dilakukan di luar Kawasan alami karena species/komunitas yang terancam berada
dalam jumlah yang terbatas/minim
Konservasi dilakukan seperti di kebun binatang, kebun raya, aquarium,
bank benih.
Konservasi pada tingkat
species dan populasi
Tingkat
yang paling rendah dalam koservasi adalah konservasi species dan tingkat
keberhasilan konservasi ini ditentukan oleh keragaman genetik didalam species.
Variasi genetik menentukan kemampuan survival
(bertahan hidup) biota dalam jangka pendek. Survival biota selanjutnya
menentukan tingkatan yang lebih tinggi diatasnya (species dan komunitas). Keragaman
genetik species sangat diperlukan karena populasi yang memiliki keregaman genetik
yang rendah sangat rentan terhadap perubahan lingkungan (adaptasi linkungan)
sehingga sangat berisiko mengalami kepunahan. Dengan keragaman genetik yang
rendah sangat rentan terhadap kemungkinan inbreeding.
Tingkat
keragaman genetuk yang tinggi yang dinyatakan sebagai heterogenitas
(H) berpeluang meningkatkan peluang hidup suatu populasi sepanjang rentang
waktu ekologi. Variasi genetik memiliki arti penting bagi fitness atau daya hidup satu species. Persoalannya adalah sulit
untuk menyelamatkan setiap populasi, setiap variasi morfologi, dan setiap alel (allele – bentuk yang unik dari satu gen
tunggal). .Perubahan iklim dan perubahan lingkungan yang begitu tinggi
menyebabkan banyak species yang hilang tanpa kita bisa berbuat banyak. Populasi
dianggap sebagai unit yang layak untuk dikonservasi. Ditinjau dari segi
genetik, populasi didefinisikan sebagai deme yaitu interbreeding secara acak dari populasi lokal.
Keragaman
genetik total (H) suatu species juga ditentukan oleh sebaran geografis populasi-populasi
angotanya. Apa bila terjadi penghalang proses migrasi sebagai akibat keadaan
geografis maka mengganggu aliran gen dan selanjutnya dapat memecahkan populasi alamiah kedalam
subpopulasi yang dapat berbeda secara
genetik sehingga keragaman genetik total (H) dapat dipilah kedalam dua komponen
utama yaitu
1) Keragaman
genetik rata-rata didalam setiap sub populasi atau HS dan
2) perbedaan
frekuensi alel antar sub-populasi (DST)
Pengrusakan
habitat menyebabkan fragmentasi populasi sementara geografis juga menimbulkan
adanya subpopulasi. Kedua hal ini menyebabkan terhambatnya aliran gen yang
menghubungkan subpopulasi sehingga menyebabkan kontribusi relatif HS
dan DST terhadap nilai HT bergeser karena proses genetic drift (hanyutnya gen). Proses gen drifting yang berlangsung lama
selanjutnya akan menurunkan heterogenitas genetik dalam subpopulasi dan
sebaliknya meningkatkan diferensi genetik antar subpopulasi. Pada populasi yang
berukuran kecil (hampir punah) penurunan heterogenitas ini sangat mengancam
keberlanjutan populasi tersebut.
Tingkat
keragaman genetik diantara dua populasi menghasilkan populasi efektif (Ne) dan
laju migrasi (m) yaitu perbandingan pertukatan individu diantara populasi per
generasi. Jika Ne (populasi efektif) kecil maka populasi akan cendrung menyebar
karena terjadi erosi genetik. Untuk mencegah penyebaran diperlukan laju migrasi
(m) yang tinggi. Didalam manajemen diperlukan keseimbangan proporsi Ne. Sebagai
contoh ada hukum 50/500 yang menyatakan bahwa jumpal populasi efektif (Ne) minimal 50 individu untuk
konservasi keragaman genetik dalam jangka pendek dan untuk mencegak terjadinya
tekanan inbreeding diperlukan Ne =
500 supaya tidak terjadi erosi genetik
dalam janka panjang. Hal ini menunjukan bahwa dalam konservasi diperlukan
memperhitungkan berapa besar populasi yang dibutuhkan. Tetapi hal ini tidak
selamanya demikian sebab mungkin diperlukan lebih dari 50 dan 500 individu
dalam breeding species dalam jumlah
ratusan atau ribuan individu untuk breeding secara kelompok (koloni).
Perlu
diperhatikan bahwa aturan-aturan yang bersifat kuantitatif diatas (20/500) perlu
diterapkan secara hati-hati dan aturan kualitatif merupakan pilihan lain yang
bisa digunakan dalam manajemen variasi genetk. Beberapa pedoman genetik kualitatif dalam konservasi antara lain mencakup:
1)
Jumlah populasi efektif (Ne – tingkat
keragaman genetik diantara dua populasi) yang lebih besar adalah lebih baik
dibandingkan populasi yang lebih kecil sebab kehilangan variasi genetik akan
lebih lama.
2)
Efek negatif erosi gen dan inbreeding berbanding terbalik dengan jumlah
populasi. Maka perlu dihindari manajemen yang tidak bersifat alami dengan
jumlah populasi yang sedikit.
3)
Keragaman genetik yang rendah bukan
tanda bahaya sebab terdapat beberapa species yang secara historis mempunyai
keragaman genetik yang rendah
4)
Menghindari seleksi alam di penangkaran.
Hal yang terbaik untuk dikerjakan adalah memelihara populasi dalam penangkaran selama
beberapa generasi semampu mungkin dngan meniru kondisi alam semirip mungkin.
5)
Setelah populasi rusak, maka pertumbhan
populasi harus segera dipercepat supaya peristiwa bottle neck dapat dihindari. Peristiwa dimana populasi mengalami
penyusutan luar biasa dalam waktu dan ruang, sehingga terjadi berkurangnya
keberagaman genetik.
6)
Pengambilan hasil dari stok di alam
bebas (berburu, memancing) yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan
terseleksinya species atau terjadinya perubahan genetik yang dapat mempengaruhi
evolusi dimasa mendatang baik pada tingkat populasi maupun species.
Keterbatasan genetik
dalam konservasi
Walalupun
genetik memainkan peranan penting dalam biodiversity
conservation tetapi ada beberapa keterbatasan dari genetika antara lain:
1.
Masih merupakan cabang ilmu yang baru
dan masih perlu terus dikembangkan.
2.
Beberapa teknik biayanya mahal, tidak
mudah dipelajari dan dapat terjadi kekeliruan dalam aplikasinya bila masih
kurang pengalaman;
3.
Sampel jaringan tanaman atau hewan perlu
dipersiapkan dengan teliti; sampel dari lokasi yang jauh biasanya cukup sulit
untuk ditangani sehingga mudah rusak;
4.
Untuk kebutuhan sampel, seringkali harus
menghancurkan/membunuh individu atau minimal menangkap supaya bisa memperoleh
jaringan (e.g. badak, ikan paus dll)
apalagi kalau speceis tersebut masuk kategori terancam punah (Catatan:
perkembangan teknologi akhir ini memungkinkan orang untuk mempelajari DNA dari
sampel kotoran, tidak harus dari darah atau jaringan).
Jenis-jenis biota laut
yang dilindungi – Tugas lewat internet.
Konservasi
pada tingkat kawasan
Pada
penjelasan sebelumnya kita berbiacra tentang konservasi pada tingkat species
dan populasi. Pada pengertian ini kita membatasi diri pada wilayah yang
terbatas, pada populasi organisme tertentu pada tingkat species. Dalam
konservasi kawasan kita berbicara pada batasan wilayah yang lebih luas yang
kita sebut sebagai “kawasan konservasi.” Kawasan konsevasi biasanya dilindungi
undang-undang sehing sering juga disebut sebagai “kawasan lindung.”Dalam
pengertian umum kawasan biasanya di batasi oleh luasan-luasan tertentu bisa
berupa batas-batas administrasi. Dalam kawasan konservasi, batasan lebih banyak
ditentukan oleh batas ekologi.
Kenapa harus
menggunakan kawasan dalam konservasi
Dalam
program konservasi, batasan kawasan yang dipakai seharusnya berdasarkan
pendekatan atau batasan bioekologi. Kadang kepentingan politik maka batasan
ekologi bisa saja tidak dipergunakan. Perhatikan kasus daerah gambut di
Kalimantan, oleh para ahli lingkungan daerah tersebut tidak direkomendasikan
untuk dijadikan kawasan produksi tetapi karena pengaruh politik akhirnya
berubah. Dampaknya adalah merusak kawasan tersebut seperti sering terjadinya
kasus kebakaran.
Jika
dilihat secara sistem maka didalam satu kawasan tertentu terdapat sub-sistem
yang lain yang terkait satu dengan yang lainnya. Dikawasan pesisir sebagai
contoh bisa kita jumpai seperti
sub-sistem hutan mangrove, sub-sistem padang lamun, sub-sistem terumbu karang,
estuari, komunitas yang mendiami sub-sistem tersebut dan berinterkasi satu
dengan yang lainnya. Ada juga sub-sistem manusia yang mendiami daerah tersebut
yang memanfaatkan sub-sub sistem tersebut. Dengan demikian secara sistem,
pendekatan konservasinya harus berdasarkan kawasan dan terintegrasi satu dengan
yang lainnya.
Contoh
kasus:
konservasi penyu
harus mencakup wilayah yang luas karena melihat pola migrasinya luas(oceanic migration). Kalau kita hanya
membatasi konservasi pada daerah tertentu,tempat bertelur sebagai contoh,
sementara sifat migrasi yang luas tidak dipertimbangkan maka usaha kita bisa
sia-sia.
Penetapan
tatar ruang nasional maupun ditingkat wilayah merupakan langkah maju dalam
penentuan ruang wilayah berdasarkan kesesuaian peruntukan wilayah tertentu. Ada
undang-undang yang mengatur tata ruang (nasional dan wilayah), ada Agenda 21
(Internasional dan nasional) yang mengatur keberlanjutan pembangunan, ada pula
Kepmen Kementrian Kelautan dan Perikanan yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan
namun masih ada masalah dalam pelaksanaannya a.l.
1. Pendekatannya
lebih bersifat top down dan
seringkali tidak melibatkan peran serta masyarakat dibawah;
2. Bentuk
partisipatif (peran serta) yang ada lebih banyak berupa melakukan apa yg sudah
diputuskan oleh perencana dan masyarakat diwaibkan mendukung. Partisipatif
lebih banyak berbentuk sosialisasi pelaksanaan keputusan.
3. Ada
pertentangan antara satu undang-undang/keputusan dengan keputuan yang lain. Ada
kawasan yang sudah ditetapkan secara hukum sebagai kawasan lindung/konservasi,
tetapi ada undang-undang/keputusan lain yang membolehkan kegiataan eksploitasi
di kawasan lindung tersebut.
Apa itu kawasan dan
mengapa
Pengertian
kawasan konservasi laut menurut IUCN (19988) mendefinisikan Kawasan Konservasi
Laut (KKL) sebagai:
Suatu kawasan
laut atau paparan subtidal, termasuk perairan yang menutupinya, flora, fauna,
sisi sejarah dan budaya yang terkait didalamnya dan telah dilindungi oleh hukum
atau peraturan lainnya untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan
tersebut.
Beberapa
hal yang bisa dikemukakan disini berdasarkan pengertian tersebut diatas adalah:
1. Terdapat
beberapa cabang ilmu atau departemen yang tergabung dalam kawasan ini;
2. Diperlakuakan
keterpaduan perencanaan, penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi tersebut
guna menghindari konflik kepentingan antar departemen atau badan lainnya dan
mencapai keberlanjutan SDA. Kebanyakan konflik menyebabkan masyarakat lokal
disekitar kawasan yang menjadi korban.
Beberapa
istilah atau nama yang biasanya kite temukan sehubungan dengan konservasi ini
antara lain adalah “reserve” (cadangan),
“suntuary” (perlindungan), “park” (taman) dan lainnya tetapi pada
prinsipnya semua istilah atau nama itu memiliki tujuan untuk menjaga atau
menyelamatkan ekosistem dan sumberdaya alam yang ada didalam ekosistem tersebut
termasuk wilayah laut. Menurut IUCN (1994) beberapa tujuan kawasan konservasi
termasuk didalamnya kawasan konservasi wilayah laut yaitu:
a) Melindungi
dan mengelola sistem laut dan estuari supaya dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan (sustainable) dalam
jangka panjang dan mempertahankan keanekaragaman genetiknya (H)
b) Untuk
melindungi penurunan, tekanan, populasi dan species langka terutama pengawetan
habitat untuk kelangsungan hidup organisme tersebut.
c) Melindungi
dan mengelola kawasan yang secara nyata merupakan silus hidup species ekonomis
penting (mangrove misalnya)
d) Mencegah
aktivitas luar yang memungkinkan menimbulkan kerusakan pada kawasan konservasi
laut.
e) Memberikan
kesejahteraan yang berkelanjutan kepada masyarakat dengan menciptakan kawasan
konservasi laut; menyelamatkan, melindungi, dan mengelola daerah2
mulut sungai dan estuaria yang mempunyai nilai sejarah dan budaya serta
nilai-nilai estetika alam untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang;
f) Mempermudah
dalam menginterpretasikan sistem laut dan estuari untuk tujuan konservasi,
pendidikan, dan pariwisata.
g) Menyediakan
pengelolaan yang sesuai yang mempunyai spektrum luas bagi aktivitas manusia
dengan tujuan utamanya adalah penataan laut dan estuaria.
h) Menyediakan
sarana untuk penelitian dan pelatihan dan untuk pemantauan pengaruh aktivitas
manusia terhadap lingkungan termasuk pengaruh langsung dan tidak langsung dari
pembangunan dan pemanfaatan lahan di daratan.
Bila
kita perhatikan tujuan pengadaan suatu kawasan konservasi laut maka terlihat
bahwa cakupan manfaat tersebut cukup luas dan masih berupa sesuatu yang
bersifat makro. Oleh badan perlindungan alam PBB yaitu IUCN melalui Commission on Natural Park and Protected
Area kemudian menyusun suatu daftar pengelolaan kawasan konservasi yang
sesuai dengan peruntukannya yang pada akhirnya mencerminkan ciri atau tipe
kawasan konservasi tersebut yaitu:
1)
Kawasan Cagar Alam, untuk tujuan
perlindungan yang ketat (strict
protection zone);
2)
Taman Nasional untuk tujuan konservasi
ekosistem dan rekreasi;
3)
Monumen alam, untuk tujuan konservasi
keistimewaan alam;
4)
Kawasan Pengelolaan Habitat/species,
untuk tujuan konservasi melalui pengelolaan yang aktif;
5)
Perlindungan Bentangan Alam atau Bentang
Laut, untuk ujuan konservasi bentang alam/bentang laut dan rekreasi;
6)
Kawasan Konservasi SDA yang terkelola
untuk tujuan pengelolaan ekosistem alam dengan pemanfaatan yang cocok.
Tabel
berikut ini memperlihatkan matriks tujuan pengelolaan dan kategori atau tipe
kawasan konservasi tersebut.
No
|
Tujuan
pengelolaan
|
Tipe
kawasan konservasi
|
||||||
|
|
Ia
|
Ib
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
1
|
Penelitian ilmiah
|
1
|
3
|
2
|
2
|
2
|
2
|
3
|
2
|
Perlindgn hutan
raya (wildernes)
|
2
|
1
|
2
|
3
|
3
|
-
|
2
|
3
|
Penyelamatan biodiversity sp dan genetik
|
1
|
2
|
1
|
1
|
1
|
2
|
1
|
4
|
Pemeliharaan lingkungan
|
2
|
1
|
1
|
-
|
1
|
2
|
1
|
5
|
Perlindungan
budaya spesifik secara alami
|
-
|
-
|
2
|
1
|
3
|
1
|
3
|
6
|
Pariwisata dan
rekreasi
|
-
|
2
|
1
|
1
|
3
|
1
|
3
|
7
|
Pendidikan
|
-
|
-
|
2
|
2
|
3
|
2
|
3
|
8
|
Pemanfaatan SDA
yg ramah lingkungan
|
-
|
3
|
3
|
-
|
2
|
2
|
1
|
9
|
Pemeliharaan
sifat-sifat tradisi budaya
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
1
|
2
|
Keterangan:
1. =
Tujuan primer
2. =
Tujuan sekunder
3. =
Secara potensial tujuannya dapat diaplikasikan
- =
tidak dapat diaplikasikan
Jika kita memperhatikan tujuan penetapan
kawasan konservasi laut (Marine Protected
Area – MPA) seperti yang dikemukakan oleh IUCN (1994), maka dengan
pemberlakuan segala aturan yang berlaku di kawasan konservasi, maka ada
beberapa manfaat kawasan konservasi laut yang bisa kita kemukakan disini yaitu:
1)
Terjaminnya keberlanjutan hidup
ekosistem laut didaerah kawasanyang selanjutnya akan tercapai keberlanjuan
keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan;
2)
Terlindungnya jumlah populasi organisme
dari kemungkinan ancaman aktivitas manusia, terutama keselamatan species
langka;
3)
terpeliharanya siklus hidup species terutama
yang mempunyai nilai ekonomis penting;
4)
Terjaganya kawasan dari aktivitas luar
yang memungikinkan terjadinya perusakan kawasan konservasi laut; dengan
demikian akan terpelihara SDH laut yang merupakan sumber kehidupan atau
kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan;
5)
Tersedianya sarana dan prasarana
pengelolaan yang sesuai, yang mempunyai spektrum luas bagi aktivitas manusia
dengan tujuan utama penataan laut dan estuaria;
6)
Tersedianya tempat penelitian dan
pelatihan dan pemantauan pengaruh ativitas manusia.
Prospek
pengembangan kawasan konservasi laut
Keberhasilan
pelaksanaan suatu program termasuk program konservasi SDH laut ditentukan oleh
lebih dari satu faktor diantaranya perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi. Untuk kasus KSDH Laut maka pada tahapan perencanaan termasuk disitu
penelitian-penelitian dasar genetika, habitat, sosial budaya masyarakat,
penentuan species/organisme konservasi berdasarkan kriteri kekhasan,
keterancaman, dan kegunaan/manfaat. Dari segi pengelolaan termasuk didalamnya,
SDM yang tersedia, sumber dana, perangkat hukum, penegakan hukum. Semua
faktor-faktor diatas akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan kawasan
konservasi pada umumnya.
Di
Indonesia, interfensi kepentingan politik dan bisnis serta perangkat hukum dan
penegakan hukum serta SDM masih merupakan kendala utama disamping pemahaman
masyarakat tentang pentingnya prinsip keberlanjutan lingkungan dan sumber daya
alam. Disamping itu masalah dana juga merupakan masalah karena pengelolaan
konservasi sering membutuhkan dana yang besar. Riset-riset molekuler biologi
biasanya merupakan riset-riset yang mahal dan membutuhkan peralatan dan SDM
yang memadai.
Konservasi
SDA termasuk SDH laut bukan lagi merupakan masalah satu negara tertentu tetapi
merupakan masalah internasional secara sistem, hutan hujan tropis sebagai
contoh, adalah masalah internasional sehingga keterlibatan pihak atau
badan-badan internasional ada dalam program konservasi. Persoalannya adalah
sampai sejauh mana komitmen kita terhadap pelaksanaan program konservasi
tersebut. Pada saat program konservasi berjalan baik dan tujuan pelaksanaannya
tercapai, maka sumber-sumber dana dari pihak luar akan cukup tersedia. Beberapa
contoh bantuan dari luar utuk program konservasi seperti Man and Biosphere untuk penyelamatan hutan, COREMAP (Coral Reef Management Program) untuk
program penyelamatan kawasan konservasi SDH laut khususnya terumbu karang yang
didanai Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank – ADB).
Pendekatan
Perencanaan Kawasan Konservasi
Perencanaan
pembuatan suatu kawasan konservasi haruslah dilakukan secara cermat dan
melibatkan setiap stake holder yang
berkepentingan dengan sumberdaya yang akan dikonservasi. Perencanaan harus
dilakukan secara terintegrasi. Kadang dengan alasan-alasan yang tidak memadai
lalu diputuskan pemberlakuan suatu area menjadi kawasan konservasi. Begitu ada
masalah, tanpa satu pertimbangan dan perencanaan yang matang langsung dilakukan
pemberlakuan konservasi. Disebutkan didepan bahwa ada tiga kriteria utama yang
perlu dipertimbangkan yaitu kekhasan, nilai manfaat, dan tingkat keterancaman
terhadap satu sumberdaya/lingkungan.
Untuk
menentukan pilihan pengelolaan termasuk konservasi maka pada tingkat awal perlu
melakukan suatu perencanaan yang baik yang mencakup pertimbangan-pertimbangan
yang bersifat ekonomis, lingkungan/biologi, dan sosial budaya. Semua itu perlu
didukung oleh data yang akurat guna keperluan perencanaan. Berikut disampaikan
secara singkat beberapa pertimbangan dalam perencanaan kawasan konservasi.
Pertimbangan ekonomi
Pertimbangan
ini berhubungan dengan nilai ekonomi satu sumberdaya alam yang ada dikawasan
konservasi (laut). Pertimbangan ini antara lain meliputi beberapa hal sbb:
·
Apakah daerah yang akan dikonservasi itu
penting secara ekonomi bagi masyarakat sekitar kawasan tersebut seperti tempat
untuk berusaha untuk pemenuhan kebutuhan hidup (subsistens) mereka. Apakah
mereka memanfaatkan SDA yg ada seperti ikan, udang, bahan-bahan lain seperti
karang mati untuk kebutuhan bangunan dll. Pada daerah-daerah pulau kecil yang
bersifat insularitas (jauh dari pulau induk), hal tersebut menjadi lebih
penting.
·
Apakah daerah tersebut menghasilkan SDA
yang mempunyai nilai ekonomis penting baik berupa barang dan jasa lingkungan
dan apakah barang dan jasa tersebut guna pasar lokal atau regional bahkan
internasional.Semakin tinggi nilai ekonomi SDA dan jasa maka semakin tinggi
pula tingkat pemanfaatannya, semakin terancam SDA dan jasa lingkungan yang ada.
Contoh ekpoitasi pasir dibeberapa daerah di Kep. Riau yang sudah menyebabkan
tenggelamnya pulau, Kalau pulau tersebut merupakan pulau terluar maka akan
merobah titik batas kita dengan negara tetangga.
Pertimbangan lingkungan
Pertimbangan
lingkungan disnini meliputihal-hal sebagai berikut:
·
Stabilitas fisik pantai seperti misalnya
tersedianya hutan mangrove yang secara fisik mempertahankan pantai dari
gelombang laut dan ancaman abrasi atau secara ekologis sebagi tempat pemijahan,
mencari makan, tempat pembesaran berbagai organisme tertentu;
·
Apakah lingkungan tersebut secara
ekonomis memiliki barang dan/atau jasa yang memiliki nilia ekonomis penting
seperti SDA hayati laut yang bernilai ekonomis penting atau barang-barang
bernilai sejarah sehingga perlu untuk
dilindungi;
·
Apakah ada tanda-tanda terjadinya
kerusakan lingkungan sebagai akibat aktivitas manusia seperti sedimentasi,
penebangan liar, destructive fishing
(pangkapan ikan dengan cara-cara tidak ramah lingkungan); terjadinya
eutrafikasi (alga booming – red tide) dan lain-lan bahan pencemar;
Pertimbangan
sosial-budaya
Beberapa
hal yang perlu menjadi pertimbangan dari aspek sosial budaya antara lain:
·
Apakah ada nilai-nilai sosial budaya
seperti adat istiadat/tradisi penting yang berhubungan dengan kawasan
konservasi (kepercayaan tertentu masyarakat lokal terhadap SDA yang akan
dikonservasikan)
·
Apakah ada pola atau kebiasaan hubungan
sosial-budaya masyarakat yang yang bisa membantu atau menjadi ancaman terhadap pelaksanaan
konservasi msalnya penggunaan SDA hayati tertentu untuk ritual-ritual adat (contoh:
penggunaan daging penyu untuk acara adat suku tertentu)
Pemberlakuan
satu kawasan konservasi (termasuk konservasi wilayah pesisir dan laut) terutama
kawasan dimana ada masyarakat lokal yang beraktivitas disitu akan membawa
dampak kepada masyarakat tersebut. Pada kasus dimana masyarakat tidak
diperbolehkan untuk memanfaatkan SDA didaerah atau kawasan konservasi maka
potensi konflik akan timbul. Untuk itu sudah harus dipikirkan sejak awal
perencanaan beberapa hal sebagai berikut:
§ apakah
ada sumber-sumber atau produk-produk pengganti lain yang ada disekitar kawasan
konservasi sebagai produk pengganti.
§ Ataukah
bagaimana melibatkan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi sebagai
kompensasi atas pemberlakuan kawasan konservasi tersebut.
Pertimbangan
lain yang perlu dipikirkan adalah apakah dengan pemberlakuan kawasan konservasi
dimaksud dapat menjadi subjek dari suatu obligasi internasional seperti The World Heritage, The Biosphere Reserve
Program. Kalau ada, maka ini akan sangat membantu dalam pendanaan
pengelolaan kawasan konservasi.
Setelah
semua data yang dirasakan perlu untuk perencanaan kawasan konservasi
terkumpulkan maka tahap selanjutnya adalah menganalisis data tersebut untuk
menentukan apakah perlu untuk memberlakukan kawasan konservasi pada wilayah
tertentu. Berdasarkan data yang terkumpul maka beberapa pertanyaan yang perlu
dimunculkan disi adalah:
1. Issue
mengenai pengelolaan utama (major
management) dan alasan-alasannya.
2. Mana
yang merupakan prioritas yang paling penting dari berbagai macam prioritas yang
ada;
3. Pemusatan
kajian pada informasi/data yang tidak lengkap dan berusaha untuk memperkecil
pengaruhnya terhadap perencanaan
4. Bagaimana
mengatasi kemungkinan konflik antar sektor yang kemungkinan muncul dalam
perencanaan sampai pemberlakuan konservasi dan
5. Kemungkinan
pilihan pengelolaan yang tersedia
Pengelolaan
Kawasan Konservasi: Pendekatan sistem
Melihat
banyaknya aspek yang perlu diterimbangkan dan banyaknya stake holder yang berkepentingan dalam perencanaan sampai pemberlakuan
satu kawasan konsevasi dan kemungkinan munculnya konflik kepentingan maka salah
satu cara yang efektif dalam mengurangi konsflik adalah pendekatan sistem.
Pendekatan sistem baik sistem lingkungan (bio-ekologi) maupun sistem non
lingkungan.
Dalam
sistem non lingkungan dimaksudkan bahwa semua pihak yang berkepentingan dengan kawasan
yang direncanakan untuk menjadi kawasan konservasi perlu bersama-sama
mendiskusikan hal-hal yang berhubungan dengan rencana pemberlakuakn
konservasi. Masyarakat, pemerintah lewat
departemen terkait, lembaga swasta (LSM, pengusaha, tokoh-tokoh masyarakat)
perlu terlibat bersama-sama dalam proses ini. Pendekatan yang terintegrasi ini
diharapkan akan dapat mengurangi conflict
of interest antar lembaga dan masyarakat dan mencapai hasil yang optimal
dalam pemberlakuan kawasan konservasi. Pendekatan semacam ini dalam teori
sistem disebut pendekatan sistem (system
approach).
Pendekatan
sistem ini juga berlaku untuk pertimbangan bioekologi dan lebih populer dengan
nama pendekatan sistem lingkungan atau ecosystem
approach, Dalam sejarah pengelolaan sumberdaya alam, termasuk perikanan,
bidang-bidang ilmu seperti ekologi, biologi perikanan, oseanografi, manajemen
perikanan, dan industri perikanan dalam kegiatannya berjalan sendiri-sendiri.
Sejak tahun 1980an, terjadi peningkatan perhatian yang diberikan kepada aspek
multispecies dari perikanan, hubungan antara oseanografi dan kelimpahan ikan
dan pendekatan yang lebih holistik terhadap manajemen sumber daya termasuk
perikanan (EATF, 2003). Pendekatan
berbasiskan ekosistem memiliki keunggulan secara nyata dalam meningkatkan dan
mengembangkan manajemen sumberdaya perikanan.
Konservasi SDH laut sebagai bagian dari
manajemen sumberdaya perairan juga tidak terlepas dari pendekatan secara sistem
ekologi ini. Hal yang baru dan berbeda dalam pendekatan ekosistem terhadap
pengelolaan sumberdaya alam, termasuk konservasi, adalah pendekatan ini memberikan suatu
penilaian terhadap komponen-komponen berbeda dari lingkungan perairan laut, dan
harus diperhitungkan, sebagai akibat dari teori sistem, elemen-elemen
kemanusiaan dan non kemanusiaan dari lingkungan laut dan keterkaitannya yang nampak
(Ward et al. 2002; EATF, 2003).
Manajemen yang berbasiskan ekosistem dengan demikian membutuhkan perhatian yang
lebih dalam sehingga tujuan manajemennya harus ditentukan kembali dan prosesnya
diimplementasikan didalam semua badan yang terkait dalam manajemen tersebut.
Meskipun data (komponen) masalah sosial dalam pendekatan yang lama tidak
dianggap sebagai bagian dari manajemen sumberdaya alam, akan tetapi menurut
konsep lingkungan aspek bilogi dan sosiologi tidak terpisahkan (EATF, 2003).
Hubungan tersebut dapat kita lihat pada Gambar 2.1. yang memperlihatkan
keterkaitan tersebut yang terjadi di wilayah pesisir termasuk wilayah
konservasi sumberdaya hayati laut,
Gambar 1. Diagram yang menunjukan interaksi yang tak terpisahkan (inextricably linked) antara komponen pada
suatu kawasan konservasi (Modifikasi dari: Cicin-Sain dan Knecht, 1998;
Debance, 1999 dalam Adrianto, 2004).
Pola pengelolaan kawasan konservasi
sering menjadi perdebatan ketidakberhasilannya dibandingkan berhasil. Sering
kali pengelola hanya berfokus pada apa yang ada dalam kawasan konservasi
sedangkan ang diluar tidak atau kurang diperhitungkan. Sebagai contoh kawasan
diluar itu yang sering kita sebut sebagai buffer
zone (zona penyanggah) dikelola oleh organisasi lain. Dalam pola yang
terpisah semacam ini, manajer konservasi lebih memfokus pada kawasan
konservasi, sementara yang diluar tidak diperhatikan. Masyarakat diperbolehkan
memanfaatkan buffer zone tadi
sehingga bisa terjadi masalah dengan kawasan konservasi masyarakat yang sering
dipersalahkan. Masyarakat kurang dilibatkan dalam kawasan konservasi sehingga
ketika mereka tidak diperbolehkan mengambil hasil didalam kawasan itu maka
sering terjadi konflik.
Untuk mengelola kawasan konservasi
dengan pendekatan ekosistem, maka diperlukan pemahaman yang lebih luas tentang
bagaimana sistem bekerja. Untu memahami hal semacam ini maka tim ahli dari
berbagai disiplin ilmu harus ada untuk membantu pihak pengelola dalam mengelola
kawasan tersebut mulai dari perencanaan, rencana aksi dan pemantauannya. Penentuan
cakupan ekosistem juga jangan sampai
terlalu luas karena akan melibatkan terlalu banyak institusi dan lembaga yang
membuat menjadi lebih kompleks. (Catatan: ingat prinsip kekhasan,
pemanfaatan, dan keterancaman).
Pendekatan ekosistem dipakai karena
secara umum pendekatan ini lebih diharapkan menjamin proses ekologi bisa
berkelanjutan dengan baik.meskipun kawasan tersebut didayagunakan. Untuk itu
diperlukan berbagai informasi ilmiah yang akurat baik tentang proses ekologi
dikawasan hutan, sungai, laut, pesisir maupun kawasan yang telah dibudidayakan.
Grumble (1994) dalam Supriatna, 2008) memberikan definisi konservasi
berbasiskan ekosistem sebagai berikut: “
pengelolaan kawasan ekosistem dilakukan
dengan memadukan berbagai pengetahuan ilmiah tentang proses-proses ekologi
dalam kerangka sosial politik dan nilai-nilai yang kompleks dengan tujuan untuk
melindungi integritas ekosistem lokal dan sinambung dalam jangka panjang.”
Grumble(1994)
kemudian mengidentifikasi 10 tugas dominan dalam pengelolaan ekosistem yaitu:
1) jenjang sistem keanekaragaman; 2) pengetahuan batas ekologi; 3) integritas
batas ekologi; 4) sistematika dan riset dan koleksi data; 5) monitoring; 6)
manajemen adaptifl7) kerjasama antar sektor; 8) perubahan organisasi; 9)
manusia sebagai komponen ekosistem dan 10) nilai manusia dalam mencapai tujuan.
1)
Jenjang
sistem keanekaragaman hayati.
Ada jenjang atau
hirarki dalam keanekaragaman hayati, dimulai dari skala paling kecil
(keanekaragaman genetik), keanekaragaman species, populasi, ekosistem dan
lanskep. Didalam keanekaragamdan hirarki ini terdapat juga interaksi diantara
setiap jenjang tersebut. Dalam pengelolaan ekosistem kita harus mampu melihat
bagaimana proses yang terjadi dalam kawasan tersebut. Contoh: kalau hendak
melestarikan penyu, misalnya, kita harus tahu tingkatan penyu tersebut dalam
berbagai tingakatn sistem (preadtor and pray relationship), kita perlu tahu keanekaragaman
genetik yang akan mencegah terjadinya genetic drifting dan inbreeding.. Kita
juga harus tahu seberapa luas penyebaran opulasinya.
2)
Pengetahuan
batas ekologi
Dalam pendekatan sistem
maka batas yang harus menjadi satu kawasan
adalah batas ekologi, pengelolaan ekosistem harus memperhatikan
batas-batas biofisik dan ekosistem. Sebagai contoh ada kawasan yang mencakp dua
atau lebih wilayah administratif dan daerah tersebut harus menjadi satu kawasan
konservasi.
3)
Integritas
ekologi
Dalam pengelolaan
ekosistem kita perlu memahami berbagai tingkatan ekologi yg disebutkan diatas
(gen, species, populasi, komunitas, lanskep, proses-proses ekologi, evolusi dan
sebagainya) yg ikut memelihara kehidupan biologi. Pengaruh manusia dapat
membuat tingkat integritas ekologi menurun, tetapi sering sukar untuk melihat
seberapa besar pengaruh kegiatan manusia terhadap proses-proses ekologi dan
evolusi. Untuk melihat itu biasanya dilakukan perbandingan antara sebelum dan sesudah
adanya kegiatan manusia pada satu ekosistem. Perbandingan juga bisa dilakukan
terhadap tempat yang berbeda dengan tempat yg lain dengan keadaan ekologi yang
sama.
4)
Koleksi
data
Untuk
kebutuhan hal-hal diatas diperlukan pengumpulandata yang akurat seperti data
heterogentitas genetik (H), species dominan, endemik sepecies, data fisik,
ekologi, data sosial budaya masyarakat, data ekonomi dan lain-lain yang
berhubungan dengan kebutuhan perecanaan konservasi.
5)
Pemantauan
Pemantauan
sangat diperlukan dalam pengelolaan konservasi, lewat pemantauan diperoleh
hasil yang bisa dipakai sebagai umpan balik untuk pengelolaan yang lebih
efektif lagi. Pemantauan dilakukan pada berbagai aspek yang ada relevansinya
dengan konservai misalnya, efektivitas pelaksanaan konservasi,
peraturan-peraturan yang ada, dampak konservasi kepada masyarakat dan tujuan
konservasi itu sendiri.
6)
Pengelolaan
bersifat adaptif
Kawasan ekosisitem
memiliki keragaman yang tinggi termasuk pula dengan masyarakat yang berada
disekitar kawasan tersebut terutama dalam konteks sosal eknomi mereka.
Pengelolaan kawasan konservasi dengan demikian tidak sama dari satu tempat
ketempat yang lain, harus menyesuaikan (adaptive)
dengan keadaan lokal Pengelolan
tidak harus mengikuti pola pengelolaan yang biasanya sudah baku dan merupakan
standard. Pola yang sudah ada atau dibuat bisa dianggap sebagai working hypothesis yang menjadi semacam
panduan umum.
Dalam pengelolaan
adaptif, fungsi monitoring atau
pemantauan ini yang akan membantu pengelola untuk melakukan adaptasi terhada
keadaan setempat yang dialami sewaktu pelaksanaan program konservasi.
7)
Kerjasama
antar organisasi/lembaga
Banyak kasus dimana
terjadi tumpang-tindih kegiatan disatu kawasan konservasi, sehingga
pemberlakuan konservasi tidak efektif. Dalam pendekatan ekosistem, semua pihak
yang berkepentingan dengan kawasan konservai harus terlibat dalam kerja-sama,
Masyarakat, pengelola, instansi pemerintah terkait, pengusaha (yang
memanfaatkan kawasan utk tujuan pariwisata), tokoh-tokoh adat. Kerjasama bukan
hanya saat perencanaan, tetapi dalam pelaksanaan. Harus ada kegiatan yang
bersifat rutin selama pengelolaan kawasan tersebut.
8)
Perubahan
struktur pelaksana
Struktur pelaksana
pengelolaan konservasi yang biasa berbeda dengan struktur pelaksana pengelolaan
konservasi berbasis ekosistem. Semakin baik kita memahami ekosisem kawasan
konservasi, semakin mudah kita menyusun struktur pelaksana dalam kawasan
tersebut. Ada kelompok-kelompok struktur pelaksana (kelompok ahli ekologi,
biologi konservasi, sekuriti, dll) tetapi semua bekerja secara terintegrasi.
9)
Manusia
sebagai bagian dari alam
Manusia merupakan
bagian inti dalam pengelolaan ekosistem, sebagai salah satu bagian dari
ekosistem manusia memegang peran penting. Perubahan-perubahan yang terjadi saat
ini lebih banyak diakibatkan oleh manusia itu sendiri. Perubahan-perubahan itu
tidak hanya mempengaruhi ekosistem tetapi juga manusia yang tinggal atau
merupakan bagian dari ekosistem tersebut.
Manusia memiliki tanggung
jawab sebagai penjaga dan pelindung ekosistem karena manusia merupakan komponen
utama yang menyebabkan atau yang bisa mengendalikan perubahan yang terjadi.
Tidak mungkin mengendalikan perubahan yang sedang terjadi tetapi sebisa mungkin
mngurangi atau mengendalikan perilaku manusia yang merusak. Oleh sebab itu
manusia/masyarakat harus turut serta dalam program konservasi yang
dilaksanakan.
10)
Nilai-nilai
kearifan lokal
Dalam kenyataan, sangat
sedikit hutan dan kawasan pantai dan daerah
pesisir yang tidak didiami manusia baik sebagai daerah baru maupun yang sudah
bepuluh tahun bahkan ratusan tahun. Manusia bahkan lebih banyak mendiami
kawasan pesisir dibandingkan di darat. Komunitas manusia yang sudah mendiami
kawasan tersebut berpuluh bahkan beratus tahun memiliki pengetahun secara
tradisional dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada disekitar mereka. Pengetahuan
semacam ini kita kenal dengan istilah kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya
alam dan lingkungan. Cara yang arif itu yang mengilhami bentuk-bentuk manajemen
ekosistem yang bijaksana. Dimaluku dan Papua kita kenal sasi, di Kalimantan ada Banoa,
cara pengelolaan hutan yang bijaksana dll.
Bentuk
hubungan masyarakat sekitar dengan kawasan konservasi
Dalam konservasi
disebutkan bahwa manusia merupakan unsur utama dalam pelaksanaan konsrvasi.
Bahwa sering disekitar kawasan konservasi dijumpai masyarakat yang sudah
mendiami kawasan tersebut dalam jangka waktu yang lama dan memanfaatkan SDA
yang ada disekitar dan didalam awasan yang menjadi tujuan konservasi. Bahwa
untuk menghindari kemungkinan terjadinya konflik maka masyarakat yang ada
disekitar kawasan tersebut perlu untuk dilibatkan. Clark (1999) didalam
Supriatna (2008) menyebutkan ada 7 kemungkinan hubungan antara masyarakat
sekitar dengan kawasan konservasi sebagai berikut:
1)
Public
relation. Memberikan pengertian kepada masyarakat tentang arti
dan nilai dari keanekaragaman hayati khususnya risiko dan keuntungan kalau
mereka mengekploitasinya. Kadang hal ini sulit terutama apabila masyarakat
sangat bergantung pada SDA yang ada dalam kawasan tersebut.
2)
Consultation
diskusi
dengan masyarakat sekitar untuk mengetahui permasalahan mereka dan bagaimana
cara bersama-sama untuk mengatasi masalah tersebut dengan cara winpwin solution antara kepentingan
kawasan konservasi dan kepentingan masyarakat
3)
Deriving
benefit. Dicarikan jalan dimana masyarakat sekitar mungkin
mendapat keuntungan dari sekitar atau dari daerah buffer zone (zona penyanggah) kawasan konsrvasi seperti keuntungan
dari ekowisata atau sebagai pekerja
didalam atau diluar daerah konservasi;
4)
Revenue
sharing. Dibuatkan
suatu mekanisme dimana hasil keuntungan pembangunan kawasan di kawasan buffer zone (zona penyanggah) dibagi
keuntungannya dengan masyarakat sekitar;
5)
Resource
harvesting. Masyarakat sekitar diijinkan memanen
species tertentu yang tidak dilindungi didalam kawasan, tetapi hal ini harus
angat berhati-hatikarena bisa mempengaruhi ekosistem, kecuali kita mampu merencanakannya
dengan baik;
6)
Participation
management. Perwakilan dari masyarakat sekitar duduk
didalam badan pengelola kawasan konservasi, tetapi keputusannya tidak bersifat
teknis tetapi lebih kepada perencanaan umum; dan
7)
Transfer
of management. Pengelolaan kawasan konservasi dberikan
kepada masyarakat sekitar. Ini juga harus dilakukan dengan hati-hati dan sudah
melalui pertimbangan yang teliti. Ada beberapa tempat di Afrika dan di Asia
(Nepal) yang melakukan hal seperti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar