Kamis, 09 Oktober 2014

PENATAAN RUANG DAN PULAU-PULAU KECIL



TUGAS
PENATAAN RUANG DAN
PULAU-PULAU KECIL


Oleh  :

NAMA      : DARWIS RUMBARU
NIM          : 2010 – 63 – 046
PRODY     : MSP




FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PATTYMURA
AMBON
2014


PENDAHULUAN
Pengertian (Konsep) dan Ruang Lingkup Daya Dukung Lingkungan Menurut UU no 23/ 1997, daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya. Menurut Soemarwoto (2001), daya dukung lingkungan pada hakekatnya adalah daya dukung lingkungan alamiah, yaitu berdasarkan biomas tumbuhan dan hewan yang dapat dikumpulkan dan ditangkap per satuan luas dan waktu di daerah itu. Menurut Khanna (1999), daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity).
Sedangkan menurut Lenzen (2003), kebutuhan hidup manusia dari lingkungan dapat dinyatakan dalam luas area yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan manusia. Luas area untuk mendukung kehidupan manusia ini disebut jejak ekologi (ecological footprint). Lenzen juga menjelaskan bahwa untuk mengetahui tingkat keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan, kebutuhan hidup manusia kemudian dibandingkan dengan luas aktual lahan produktif. Perbandingan antara jejak ekologi dengan luas aktual lahan produktif ini kemudian dihitung sebagai perbandingan antara lahan tersedia dan lahan yang dibutuhkan. Carrying capacity atau daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan.


HUBUNGAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DENGAN TATA RUANG
Permasalahan mengenai lingkungan yang kerap ditemui dalam kaitannya dengan bidang penataan ruang antara lain dapat ditemukan dalam contoh kasus sebagai berikut:
a)      Alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan non pertanian seperti industri, permukiman, prasarana umum, dan lain sebagainya. Secara keseluruhan, alih fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya (pertanian, industri, permukiman, dan sebagainya) mencapai 50.000 ha/ tahun.
b)      Penurunan secara signifikan luas hutan tropis sebagai kawasan resapan air. Pengurangan ini terjadi baik akibat kebakaran maupun akibat penjarahan/ penggundulan. Apabila tidak diambil langkah-langkah tepat maka kerusakan hutan akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu-hilir, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir, mengganggu siklus hidrologis, dan memperluas kelangkaan air bersih dalam jangka panjang.
c)      Meningkatnya satuan wilayah sungai (SWS) yang kritis. Pada tahun 1984, tercatat dari total 89 SWS yang ada di Indonesia, 22 SWS berada dalam kondisi kritis. Kondisi ini terus memburuk dimana pada tahun 1992 jumlah SWS yang kritis meningkat menjadi 39 SWS dan pada tahun 1998 membengkak menjadi 59 SWS.


 KAJIAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS
Kebijakan nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang UU 24/1992, yang kemudian diperbaharui dengan Undangundang Nomor 26 Tahun 2007 Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang nasional yang semakin baik, yang oleh undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun, setelah lebih dari 25 tahun diberlakukannya kebijakan tersebut, kualitas tata ruang masih belum memenuhi harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru yang belakangan ini sedang berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin terlihat secara kasat mata baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan perdesaan. Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penegasan sanksi atas pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU 26/ 2007 menuntut proses perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan baik agar penyimpangan pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata ruang wilayah. Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang wilayah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis atau Strategic Environmental Assessment menjadi salah satu pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup yang juga di dukung oleh keluarnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Tujuan KLHS adalah untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program (UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 15).
Adapun nilai-nilai yang dianggap penting dalam aplikasi KLHS di Indonesia adalah:
• Keterkaitan (interdependency)
• Keseimbangan (equilibrium)
• Keadilan (justice)
Keterkaitan (interdependencies) digunakan sebagai nilai penting dalam KLHS dengan maksud agar dalam penyelenggaraan KLHS mempertimbangkan keterkaitan antara satu komponen dengan komponen lain, antara satu unsur dengan unsur lain, atau antara satu variabel biofisik dengan variabel biologi, atau keterkaitan antara lokal dan global, keterkaitan antar sektor, antar daerah, dan seterusnya. Dengan membangun pertautan tersebut maka KLHS dapat diselenggarakan secara komprehensif atau holistik.
Keseimbangan (equilibrium) digunakan sebagai nilai penting dalam KLHS dengan maksud agar penyelenggaraan KLHS senantiasa dijiwai atau dipandu oleh nilai-nilai keseimbangan seperti keseimbangan antara kepentingan sosial ekonomi dengan kepentingan lingkungan hidup, keseimbangan antara kepentingan jangka pendek dan jangka panjang, keseimbangan kepentingan pembangunan pusat dan daerah, dan lain sebagainya. Implikasinya, forum-forum untuk identifikasi dan pemetaan kedalaman kepentingan para pihak menjadi salah satu proses dan metode yang penting digunakan dalam KLHS.

Dengan mengaplikasikan nilai keterkaitan dalam KLHS diharapkan dapat dihasilkan kebijakan, rencana atau program yang mempertimbangkan keterkaitan antar sektor, wilayah, dan global-lokal. Pada aras yang lebih mikro, yakni proses KLHS, keterkaitan juga mengandung makna dihasilkannya KLHS yang bersifat holistik berkat adanya keterkaitan analisis antar komponen fisik-kimia, biologi dan sosial ekonomi.
Peran KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang
KLHS adalah sebuah bentuk tindakan stratejik dalam menuntun, mengarahkan, dan menjamin tidak terjadinya efek negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren dalam kebijakan, rencana dan program (KRP). Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan. Oleh karena tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing hirarki rencana tata ruang wilayah (RTRW). KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan sebagai instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan (suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau semua fungsi-fungsi diatas. Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan atau instrumen pengelolaan lingkungan lainnya. Selain itu KLHS menciptakan tata pengaturan yang lebih baik melalui pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang strategis dan partisipatif, kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta memperkuat pendekatan kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah

Pendekatan KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada kerangka bekerja dan metodologi berpikirnya. Berdasarkan literatur terkait, sampai saat ini ada 4 (empat) model pendekatan KLHS untuk penataan ruang, yaitu :
a)      KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup/AMDAL. KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada efek dan dampak yang ditimbulkan RTRW terhadap lingkungan hidup. Perbedaannya adalah pada ruang lingkup dan tekanan analisis telaahannya pada tiap hirarhi KRP RTRW.
b)      KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan Hidup (Enviro
c)       sebagai bagian dari kajian yang lebih luas yang menilai atau menganalisis nmental Appraisal) : KLHS ditempatkan sebagai environmental appraisal untuk memastikan KRP RTRW menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa diterapkan sebagai sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut pandang aspek lingkungan hidup.
d)     KLHS sebagai Kajian Terpadu/Penilaian Keberlanjutan (Integrated Assessment Sustainability Appraisal) KLHS diterapkan sebagai bagian dari uji KRP untuk menjamin keberlanjutan secara holistik, sehingga sudut pandangnya merupakan paduan kepentingan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam prakteknya, KLHS kemudian lebih ditempatkan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan hidup secara terpadu.
e)      KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya Alam (Sustainable Natural Resource Management) atau Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable Resource Management) KLHS diaplikasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dengan fungsinya sebagai berikut:,
 a) dilaksanakan sebagai bagian yang tidak terlepas dari hirarki sistem perencanaan penggunaan lahan dan sumberdaya alam,
 b) sebagai bagian dari strategi spesifik pengelolaan sumberdaya alam. Model
a) menekankan pertimbangan pertimbangan kondisi sumberdaya alam sebagai dasar dari substansi RTRW, sementara model
b)menekankan penegasan fungsi RTRW sebagai acuan aturan pemanfaatan dan perlindungan cadangan sumberdaya alam.















DAFTAR PUSTAKA

3)      buku pegangan KLHS



Tidak ada komentar:

Posting Komentar