TUGAS
PENATAAN RUANG DAN
PULAU-PULAU KECIL
Oleh :
NAMA
: DARWIS RUMBARU
NIM
: 2010 – 63 – 046
PRODY
: MSP
FAKULTAS
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS
PATTYMURA
AMBON
2014
PENDAHULUAN
Pengertian (Konsep) dan Ruang
Lingkup Daya Dukung Lingkungan Menurut UU no 23/ 1997, daya dukung lingkungan
hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia,
makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya. Menurut Soemarwoto (2001),
daya dukung lingkungan pada hakekatnya adalah daya dukung lingkungan alamiah,
yaitu berdasarkan biomas tumbuhan dan hewan yang dapat dikumpulkan dan
ditangkap per satuan luas dan waktu di daerah itu. Menurut Khanna (1999), daya
dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas
penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative
capacity).
Sedangkan menurut Lenzen (2003),
kebutuhan hidup manusia dari lingkungan dapat dinyatakan dalam luas area yang
dibutuhkan untuk mendukung kehidupan manusia. Luas area untuk mendukung
kehidupan manusia ini disebut jejak ekologi (ecological footprint). Lenzen juga
menjelaskan bahwa untuk mengetahui tingkat keberlanjutan sumber daya alam dan
lingkungan, kebutuhan hidup manusia kemudian dibandingkan dengan luas aktual lahan
produktif. Perbandingan antara jejak ekologi dengan luas aktual lahan produktif
ini kemudian dihitung sebagai perbandingan antara lahan tersedia dan lahan yang
dibutuhkan. Carrying capacity atau daya dukung lingkungan mengandung pengertian
kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum
dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula diartikan
kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara sejahtera dan
lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan.
HUBUNGAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN
DENGAN TATA RUANG
Permasalahan mengenai lingkungan
yang kerap ditemui dalam kaitannya dengan bidang penataan ruang antara lain
dapat ditemukan dalam contoh kasus sebagai berikut:
a) Alih fungsi lahan pertanian produktif
menjadi lahan non pertanian seperti industri, permukiman, prasarana umum, dan
lain sebagainya. Secara keseluruhan, alih fungsi lahan dari kawasan lindung
menjadi kawasan budidaya (pertanian, industri, permukiman, dan sebagainya)
mencapai 50.000 ha/ tahun.
b) Penurunan secara signifikan luas
hutan tropis sebagai kawasan resapan air. Pengurangan ini terjadi baik akibat
kebakaran maupun akibat penjarahan/ penggundulan. Apabila tidak diambil
langkah-langkah tepat maka kerusakan hutan akan menyebabkan run-off yang besar
pada kawasan hulu-hilir, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada
wilayah hilir, mengganggu siklus hidrologis, dan memperluas kelangkaan air
bersih dalam jangka panjang.
c) Meningkatnya satuan wilayah sungai
(SWS) yang kritis. Pada tahun 1984, tercatat dari total 89 SWS yang ada di
Indonesia, 22 SWS berada dalam kondisi kritis. Kondisi ini terus memburuk
dimana pada tahun 1992 jumlah SWS yang kritis meningkat menjadi 39 SWS dan pada
tahun 1998 membengkak menjadi 59 SWS.
KAJIAN
KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS
Kebijakan nasional penataan ruang
secara formal ditetapkan bersamaan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 24
Tahun 1992 tentang Penataan Ruang UU 24/1992, yang kemudian diperbaharui dengan
Undangundang Nomor 26 Tahun 2007 Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan
kualitas tata ruang nasional yang semakin baik, yang oleh undang-undang
dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun,
setelah lebih dari 25 tahun diberlakukannya kebijakan tersebut, kualitas tata
ruang masih belum memenuhi harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru yang
belakangan ini sedang berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan
daya dukung lingkungan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin
terlihat secara kasat mata baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan
perdesaan. Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut,
maka tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang
menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang
dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penegasan sanksi atas
pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU 26/ 2007 menuntut proses
perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan baik agar penyimpangan
pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata ruang
wilayah. Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang
wilayah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis atau Strategic Environmental
Assessment menjadi salah satu pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka
pikir perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup
yang juga di dukung oleh keluarnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Tujuan KLHS adalah untuk memastikan
bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi
dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program
(UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 15).
Adapun nilai-nilai yang dianggap
penting dalam aplikasi KLHS di Indonesia adalah:
• Keterkaitan (interdependency)
• Keterkaitan (interdependency)
•
Keseimbangan (equilibrium)
•
Keadilan (justice)
Keterkaitan (interdependencies) digunakan sebagai
nilai penting dalam KLHS dengan maksud agar dalam penyelenggaraan KLHS mempertimbangkan
keterkaitan antara satu komponen dengan komponen lain, antara satu unsur dengan
unsur lain, atau antara satu variabel biofisik dengan variabel biologi, atau
keterkaitan antara lokal dan global, keterkaitan antar sektor, antar daerah,
dan seterusnya. Dengan membangun pertautan tersebut maka KLHS dapat
diselenggarakan secara komprehensif atau holistik.
Keseimbangan (equilibrium)
digunakan sebagai nilai penting dalam KLHS dengan maksud agar penyelenggaraan
KLHS senantiasa dijiwai atau dipandu oleh nilai-nilai keseimbangan seperti
keseimbangan antara kepentingan sosial ekonomi dengan kepentingan lingkungan
hidup, keseimbangan antara kepentingan jangka pendek dan jangka panjang,
keseimbangan kepentingan pembangunan pusat dan daerah, dan lain sebagainya.
Implikasinya, forum-forum untuk identifikasi dan pemetaan kedalaman kepentingan
para pihak menjadi salah satu proses dan metode yang penting digunakan dalam
KLHS.
Dengan mengaplikasikan nilai keterkaitan dalam KLHS diharapkan dapat dihasilkan kebijakan, rencana atau program yang mempertimbangkan keterkaitan antar sektor, wilayah, dan global-lokal. Pada aras yang lebih mikro, yakni proses KLHS, keterkaitan juga mengandung makna dihasilkannya KLHS yang bersifat holistik berkat adanya keterkaitan analisis antar komponen fisik-kimia, biologi dan sosial ekonomi.
KLHS adalah sebuah bentuk tindakan
stratejik dalam menuntun, mengarahkan, dan menjamin tidak terjadinya efek
negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren
dalam kebijakan, rencana dan program (KRP). Posisinya berada pada relung
pengambilan keputusan. Oleh karena tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan
bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang, maka manfaat KLHS
bersifat khusus bagi masing-masing hirarki rencana tata ruang wilayah (RTRW).
KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa memperkaya proses penyusunan dan
evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan sebagai instrumen metodologis pelengkap
(komplementer) atau tambahan (suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi
dari beberapa atau semua fungsi-fungsi diatas. Penerapan KLHS dalam penataan
ruang juga bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan atau instrumen pengelolaan
lingkungan lainnya. Selain itu KLHS menciptakan tata pengaturan yang lebih baik
melalui pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang strategis dan
partisipatif, kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta memperkuat
pendekatan kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah
Pendekatan
KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada kerangka bekerja dan metodologi
berpikirnya. Berdasarkan literatur terkait, sampai saat ini ada 4 (empat) model
pendekatan KLHS untuk penataan ruang, yaitu :
a) KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup/AMDAL. KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL
yaitu mendasarkan telaah pada efek dan dampak yang ditimbulkan RTRW terhadap
lingkungan hidup. Perbedaannya adalah pada ruang lingkup dan tekanan analisis
telaahannya pada tiap hirarhi KRP RTRW.
b) KLHS sebagai Kajian Penilaian
Keberlanjutan Lingkungan Hidup (Enviro
c) sebagai bagian dari kajian yang lebih luas
yang menilai atau menganalisis nmental Appraisal) : KLHS ditempatkan
sebagai environmental appraisal untuk memastikan KRP RTRW menjamin pelestarian
fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa diterapkan sebagai sebuah telaah khusus
yang berpijak dari sudut pandang aspek lingkungan hidup.
d) KLHS sebagai Kajian
Terpadu/Penilaian Keberlanjutan (Integrated Assessment Sustainability
Appraisal) KLHS diterapkan sebagai bagian dari uji KRP untuk menjamin
keberlanjutan secara holistik, sehingga sudut pandangnya merupakan paduan
kepentingan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam prakteknya, KLHS
kemudian lebih ditempatkan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan hidup secara
terpadu.
e) KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan
Berkelanjutan Sumberdaya Alam (Sustainable Natural Resource Management) atau
Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable Resource Management) KLHS
diaplikasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dengan fungsinya sebagai
berikut:,
a) dilaksanakan sebagai bagian yang tidak
terlepas dari hirarki sistem perencanaan penggunaan lahan dan sumberdaya alam,
b) sebagai bagian dari strategi spesifik
pengelolaan sumberdaya alam. Model
a)
menekankan pertimbangan pertimbangan kondisi sumberdaya alam sebagai dasar dari
substansi RTRW, sementara model
b)menekankan
penegasan fungsi RTRW sebagai acuan aturan pemanfaatan dan perlindungan
cadangan sumberdaya alam.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar