UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN
1964
TENTANG
BAGI HASIL
PERIKANAN
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa sebagai salah satu usaha untuk menuju
ke arah perwujudan masyarakat sosialis
Indonesia pada umumnya, khususnya untuk
meningkatkan taraf hidup para nelayan
penggarap dan penggarap tambak serta
memperbesar produksi ikan, maka
pengusahaan perikanan secara bagi hasil,
baik perikanan laut maupun perikanan darat,
harus diatur hingga dihilangkan
unsur-unsurnya yang bersifat pemerasan dan semua
pihak yang turut serta masi ng-masing
mendapat bagi an yang adil dari usaha itu;
b. bahwa selain perbaikan daripada
syarat-syarat perjanjian bagi hasil sebagai yang
dimaksudkan diatas perlu pula lebih
dipergiat usaha pembentukan koperasi-koperasi
perikanan, yang anggota-anggotanya terdiri
dari semua orang yang turut serta dalam
usaha perikanan itu.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) jo. pasal 20 ayat (1) serta
pasal 27 ayat (2) dan pasal 33 Undang-
undang Dasar;
2. Undang-undang No.5 tahun 1960 (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1960
No.104);
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara No.II/ MPRS/1960 jo Resolusi
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
No.I/MPRS/1963;
4. Undang-undang No.10 Prp tahun 1960 (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun
1960 No.31) jo Keputusan Presiden No.239
tahun 1964.
Dengan
Persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
GOTONG ROYONG;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG
TENTANG BAGI HASIL PERIKANAN
BAB I
Arti Beberapa
Istilah
Pasal 1
Dalam
Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan:
a. perjanjian bagi hasil ialah perjanjian yang
diadakan dalam usaha penangkapan atau
pemeliharaan ikan antara nelayan pemilik
dan nelayan penggarap atau pemilik tambak
dan penggarap tambak, menurut perjanjian
mana mereka masing-masing menerima
bagian dari hasil usaha tersebut menurut imbangan
yang telah disetujui sebelumnya;
b. nelayan pemilik ialah orang atau badan
hukum yang dengan hak apapun berkuasa atas
sesuatu kapal/perahu yang dipergunakan
dalam usaha penangkapan ikan dan alat-alat
penangkapan ikan;
c. nelayan penggarap ialah semua orang yang
sebagai kesatuan dengan menyediakan
tenaganya turut serta dalam usaha penang
kapan ikan laut;
d. pemilik tambak ialah orang atau bada hukum
yang dengan hak apapun berkuasa atas
suatu tambak;
e. penggarap tambak ialah orang yang secara
nyata, aktif menyediakan tenaganya dalam
usaha pemeliharaan ikan darat atas dasar
perjanjian bagi hasil yang diadakan dengan
pemilik tambak;
f. tambak ialah genangan air yang dibuat oleh
orang sepanjang pantai untuk pemeliharaan
ikan dengan mendapat pengairan yang
teratur;
g. hasil bersih ialah bagi perikanan laut:
hasil ikan yang diperoleh dari penangkapan, yang
setelah diambil sebagian untuk
"lawuhan" para nelayan penggarap menurut kebiasaan
setempat, dikurangi dengan beban-beban yang
menjadi tanggungan bersama dari
nelayan-nelayan dan para nelayan
penggarap, sebagai yang ditetapkan didalam pasal 4
angka 1 huruf a; bagi perikanan darat:
sepanjang mengenai ikan pemeliharaan yang
diperoleh dari usaha tambak yang
bersangkutan dikurangi dengan beban-beban yang
menjadi tanggungan bersama dari pemilik
tambak dan penggarap tambak, sebagai yang
ditetapkan di dalam pasal 4 angka 2 huruf
a;
h. ikan pemeliharaan ialah ikan yang sengaja
dipelihara dari benih yang pada umumnya
diperoleh dengan jalan membeli;
i. ikan liar adalah ikan yang terdapat di
dalam tambak dan tidak tergolong ikan
pemeliharaan.
BAB II
Pembagian Hasil Usaha
Pasal 2
Usaha
perikanan laut maupun darat atas dasar perjanjian bagi hasil harus
diselenggarakan
berdasarkan
kepentingan bersama dari nelayan pemilik dan nelayan penggarap serta pemilik
tambak
dan penggarap tambak yang bersangkutan, hingga mereka masing-masing menerima
bagian
dari hasil usaha itu sesuai dengan jasa yang diberikannya.
Pasal 3
(1) Jika suatu usaha perikanan diselenggarakan
atas dasar perjanjian bagi hasil, maka dari
hasil usaha itu kepada pihak nelayan
penggarap dan penggarap tambak paling sedikit
harus diberikan bagian sebagai berikut:
1.
perikanan laut:
a. jika dipergunakan perahu layar: minimum 75%
(tujuh puluh lima perseratus)
dari hasil bersih;
b. jika dipergunakan kapal motor: minimum 40%
(empat puluh perseratus) dari
hasil bersih.
2.
perikanan darat:
a. mengenai hasil ikan pemeliharaan: minimum
40% (empat puluh perseratus)
dari hasil bersih;
b. mengenai hasil ikan liar: minimum 60% (enam
puluh perseratus) dari hasil
kotor.
(2) Pembagian hasil diantara para nelayan
penggarap dari bagian yang mereka terima
menurut ketentuan dalam ayat (1) pasal
ini diatur oleh mereka sendiri, dengan diawasi
oleh Pemerintah Daerah Tingkat II yang
bersangkutan untuk menghindarkan terjadinya
pemerasan, dengan ketentuan, bahwa
perbandingan antara bagian yang terbanyak dan
yang paling sedikit tidak boleh lebih
dari 3 (tiga) lawan 1 (satu).
Pasal 4
Angka
bagian pihak nelayan penggarap dan penggarap tambak sebagai yang tercantum
dalam
pasal
3 ditetapkan dengan ketentuan, bahwa beban-beban yang bersangkutan dengan usaha
perikanan
itu harus dibagi sebagai berikut:
1. perikanan laut:
a.
beban-beban yang menjadi tanggungan bersama dari nelayan pemilik dan
pihak
nelayan penggarap: ongkos lelang,
uang rokok/jajan dan biaya perbekalan untuk
para nelayan penggarap selama di
laut, biaya untuk sedekah laut (selamatan
bersama) serta iuran-iuran yang disahkan
oleh Pemerintah Daerah Tingkat II yang
bersangkutan seperti untuk
koperasi, dan pembangunan perahu/kapal, dana
kesejahteraan, dana kematian dan
lain-lainnya;
b.
beban-beban yang menjadi tanggungan nelayan pemilik: ongkos pemeliharaan
dan perbaikan perahu/kapal serta
alat-alat lain yang dipergunakan, penyusutan
dan biaya eksploitasi usaha
penangkapan, seperti untuk pembelian solar, minyak,
es dan lain sebagainya.
2. Perikanan darat:
a.
bahan-bahan yang menjadi tanggungan bersama dari pemilik tambak dan
penggarap tambak, uang pembeli
benih ikan pemeliharaan, biaya untuk pengeduk
saluran (caren), biaya-biaya untuk
pemupukan tambak dan perawatan pada pintu
air serta saluran, yang mengairi
tambak yang diusahakan itu;
b.
bahan-bahan yang menjadi tanggungan pemilik tambak; disediakannya tambak
dengan pintu air dalam keadaan
yang mencukupi kebutuhan, biaya untuk
memperbaiki dan mengganti pintu
air yang tidak dapat dipakai lagi serta
pembayaran pajak tanah yang
bersangkutan;
c.
bahan-bahan yang menjadi tanggungan penggarap tambak: biaya untuk
menyelenggarakan pekerjaan
sehari-hari yang berhubungan dengan pemeliharaan
ikan didalam tambak, dan
penangkapannya pada waktu panen.
Pasal
5
(1) Jika menurut kebiasaan setempat pembagian
bahan-bahan yang bersangkutan dengan
usaha perikanan itu telah diatur menurut
ketentuan alam pasal 4, sedang bagian yang
diterima oleh pihak nelayan penggarap
atau penggarap tambak lebih besar dari pada
yang ditetapkan dalam pasal 3, maka
aturan yang lebih menguntungkan pihak nelayan
penggarap atau penggarap tambak itulah
yang harus dipakai.
(2) Dengan tidak mengurangi apa yang ditentukan
dalam ayat (1) pasal ini, maka jika
disesuatu daerah di dalam membagi
bahan-bahan itu berlaku kebiasaan yang lain dari
pada yang dimaksudkan dalam pasal 4, yang
menurut Pemerintah Daerah Tingkat I yang
bersangkutan sukar untuk disesuaikan
dengan ketentuan dalam pasal tersebut, maka
Pemerintah Daerah Tingkat I itu dapat
menetapkan angka bagian lain untuk pihak
nelayan penggarap atau penggarap tambak
dari pada yang ditetapkan dalam pasal 3,
asalkan dengan demikian bagian yang
diberikan kepada nelayan penggarap atau
penggarap tambak itu tidak kurang dari
pada jika pembagian hasil usaha perikanan yang
bersangkutan diatur menurut ketentuan
pasal 3 dan 4 tersebut di atas. Penetapan
Pemerintah Daerah Tingkat I itu
memerlukan persetujuan dari Menteri Perikanan.
BAB
III
Syarat-Syarat Bagi Penggarap Tambak
Pasal
6
Yang
diperbolehkan menjadi penggarap tambak hanyalah orang-orang warga negara I
ndonesia
yang
secara nyata aktif menyediakan tenaganya dalam usaha pemeliharaan ikan darat
dan
yang
tambak garapannya, baik yang dimilikinya sendiri atau keluarganya maupun yang
diperolehnya
dengan perjanjian bagi hasil, luasnya tidak akan melebihi atas maksimum,
sebagai
yang ditetapkan menurut ketentuan Undang-undang No.56 Prp tahun 1960 (Lembaran
Negara
Republik Indonesia tahun 1960 No.174).
BAB
IV
Jangka Waktu
Perjanjian
Pasal 7
(1) Perjanjian bagi hasil diadakan untuk waktu
paling sedikit 2 (dua) musim, yaitu 1 (satu)
tahun berturut-turut bagi perikanan laut
dan paling sedikit 6 (enam) musim, yaitu 3 (tiga)
tahun berturut-turut bagi perikanan
darat, dengan ketentuan bahwa jika setelah jangka
waktu itu berakhir diadakan pembaharuan
perjanjian maka para nelayan penggarap dan
penggarap tambak yang lamalah yang
diutamakan.
(2) Perjanjian dan bagi hasil tidak terputus
karena pemindahan hak atas perahu/kapal, alat-
alat penangkapan ikan atau tambak yang
bersangkutan kepada orang lain. Di dalam hal
yang demikian maka semua hak dan
kewajiban pemiliknya yang lama beralih kepada
pemilik yang baru.
(3) Jika seorang nelayan penggarap atau
penggarap tambak meninggal dunia, maka ahli
warisnya yang sanggup dan dapat menjadi
nelayan penggarap tambak dan
menghendakinya, berhak untuk melanjutkan
perjanjian bagi hasil yang bersangkutan,
dengan hak dan kewajiban yang sama hingga
jangka waktunya berakhir.
(4) perjanjian bagi hasil sebelum berakhirnya
jangka waktu perjanjian hanya mungkin di
dalam hal-hal dan menurut ketentuan
dibawah ini:
a.
atas persetujuan kedua belah pihak yang bersangkutan;
b.
dengan izin Panitya Landreform Desa jika mengenai perikanan darat atau
suatu
Panitya Desa yang akan dibentuk
jika mengenai perikanan laut, atas tuntutan
pemilik, jika nelayan penggarap
atau penggarap tambak yang bersangkutan tidak
memenuhi kewajibannya sebagaimana
mestinya;
c.
jika penggarap tambak tanpa persetujuan pemilik tambak menyerahkan
pengusaha tambaknya kepada orang
lain.
(5) Pada berakhirnya perjanjian bagi hasil baik
karena berakhirnya jangka waktu perjanjian
maupun karena salah satu sebab tersebut
pada ayat (4) pasal ini, nelayan penggarap
dan penggarap tambak wajib menyerahkan
kembali kapal/perahu, alat-alat penangkapan
ikan dan tambak yang bersangkutan kepada
nelayan pemilik dan pemilik tambak dan
dalam keadaan baik.
BAB V
Larangan-Larangan
Pasal 8
(1) Pembayaran uang atau pemberian benda apapun
juga kepada seorang nelayan pemilik
atau pemilik tambak, yang dimaksudkan
untuk diterima sebagai nelayan penggarap
tambak, dilarang.
(2) Pelanggaran terhadap larangan tersebut pada
ayat 1 Pasal ini mengakibatkan, bahwa
uang atau harga benda yang diberikan itu
dikurangkan pada bagian nelayan pemilik atau
pemilik tambak dan hasil usaha perikanan
yang bersangkutan dan dikembalikan kepada
nelayan penggarap atau penggarap tambak
yang memberi kannya.
(3) Pembayaran oleh siapapun kepada nelayan
pemilik, pemilik tambak ataupun para
nelayan penggarap dan penggarap tambak
dalam bentuk apapun juga yang mempunyai
unsur ijon, dilarang.
(4) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana
dalam pasal 20 maka apa yang dibayarkan
tersebut pada ayat (3) pasal ini tidak
dapat dituntut kembali dalam bentuk apapun.
Pasal 9
(1) Sewa menyewa dan gadai-menggadai tambak
dilarang, kecuali untuk keperluan yang
sangat mendesak selama jangka waktu yang
terbatas ataupun keperluan penggaraman
rakyat, setelah ada izin khusus dari
Asisten Wedana/Kepala Kecamatan yang
bersangkutan.
(2) Perjanjian sewa-menyewa tambak yang ada pada
waktu mulai berlakunya Undang-
undang ini harus dihentikan setelah ikan
yang dipelihara sekarang ini selesai dipanen.
(3) Mengenai gadai-menggadai tambak yang ada
pada waktu mulai berlakunya Undang-
undang ini berlaku ketentuan dalam pasal
7 Undang-undang No.5 Prp tahun 1960
(Lembaran Negara Republ ik Indonesia
tahun 1960 No.174).
BAB VI
Usaha Perikanan Atas
Upah Dan Sewa
Pasal
10
(1) Jika suatu usaha perikanan laut
diselenggarakan oleh suatu perusahaan yang berbentuk
badan hukum, dengan memberi upah tertentu
kepada para buruh nelayan, maka
penetapan besarnya upah tersebut
dilakukan dengan persetujuan Menteri Perburuhan,
setelah mendengar Menteri Perikanan dan
organisasi-organisasi tani, nelayan dan buruh
yang menjadi anggota Front Nasional.
(2) Jika suatu usaha perikanan yang tidak
termasuk golongan yang dimaksudkan dalam ayat
(1) pasal ini diselenggarakan sendiri oleh
nelayan pemilik atau pemilik tambak dengan
memberi upah tertentu kepada pihak buruh
nelayan atau buruh tambak, maka oleh
Pemerintah Daerah Tingkat I diadakan
peraturan tentang penetapan upah tersebut.
(3) Pemerintah Daerah Tingkat I dapat pula
mengadakan peraturan tentang persewaan
perahu/kapal dan alat-alat penangkapan
ikan.
(4) Di dalam membuat peraturan yang dimaksudkan
dalam ayat (2) dan (3) pasal ini harus
diindahkan pedoman-pedoman yang diberikan
oleh Menteri Perburuhan dan Menteri
Perikanan setelah mendengar
organisasi-organisasi tani, nelayan dan buruh yang
menjadi anggota Front Nasional.
BAB VII
Ketentuan Untuk Menyempu rnakan Dan
Kelangsungan Usaha Perikanan
Pasal 11
Oleh
Pemerintah Daerah Tingkat I dapat diadakan peraturan yang mewajibkan pemilik
tambak
untuk
memelihara dan memperbaiki susunan pengairan pertambakan, disamping saluran-
saluran
dan tanggul-tanggul yang ada di daerah pertambakan itu sendiri, yang
semata-mata
dipergunakan
untuk kepentingan pertambakan.
Pasal
12
Oleh
Pemerintah diadakan peraturan tentang pembentukan dan penyelenggaraan dana-dana
yang
bertujuan untuk menjamin berlangsungnya usaha perikanan, baik perikanan laut
maupun
perikanan
darat serta untuk memperbesar dan mempertinggi mutu produksinya, dalam mana
diikutsertakan
wakil-wakil organisasi-organisasi tani dan nelayan yang ditunjuk oleh Front
Nasional.
Pasal
13
(1) Jika seorang nelayan pemilik perahu/kapal
atau lain-lain alat penangkapan ikan, yang
biasanya dipakai untuk usaha perikanan
dengan perjanjian bagi hasil, tidak bersedia
menyediakan kapal/perahu atau alat-alat
itu menurut ketentuan-ketentuan peraturan
yang dimaksudkan dalam pasal 3 dan 4 atau
5 dan dengan sengaja membiarkannya
tidak digunakan, maka
Bupati/Walikota/Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan atau
pejabat yang ditunjuknya berwenang untuk
menyerahkan kepada koperasi perikanan
setempat secara sewa-beli dengan nelayan
pemilik untuk dipergunakan dalam usaha
penangkapan ikan.
(2) Syarat-syarat sewa beli tersebut pada ayat
(1) pasal ini ditetapkan secara musyawarah
dengan nelayan pemilik yang bersangkutan.
Jika cara tersebut tidak membawa hasil,
maka syarat-syaratnya ditetapkan oleh
Bupati/Walikota/Kepala Daerah Tingkat II, setelah
mendengar pertimbangan Dinas Perikanan
Laut dan Organisasi-organisasi tani dan
nelayan yang menjadi anggota Front
Nasional setempat. Terhadap ketetapan
Bupati/Walikota/Kepala Daerah Tingkat II
tersebut dapat dimintakan banding kepada
Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I yang
bersangkutan, yang memberikan keputusan
yang mengikat kedua belah pihak.
(3) Jika nelayan pemilik kapal/perahu dan
alat-alat penangkapan ikan itu tidak bersedia
menerima uang persewaan sebagai yang
ditetapkan oleh Bupati/Walikota/Kepala Daerah
Tingkat II atau Gubernur/Kepala Daerah
Tingkat I tersebut pada ayat (2) pasal ini, maka
oleh koperasi yang bersangkutan uang itu
disimpan pada Bank Koperasi Tani dan
Nelayan setempat atas nama dan biaya
nelayan pemilik tersebut.
Pasal 14
(1) Jika seorang pemilik tambak yang biasanya
diusahakan dengan perjanjian bagi hasil
dengan sengaja tidak bersedia menyediakan
tambaknya itu menurut ketentuan-
ketentuan peraturan yang dimaksudkan
dalam pasal 3 dan 4 atau 5 dan membiarkannya
tidak diusahakan secara lain, maka
Asisten Wedana/Kepala Kecamatan yang
bersangkutan berwenang untuk
menyerahkannya kepada seorang atau beberapa orang
penggarap tambak dengan perjanjian bagi
hasil. Di dalam hal ini maka pada azasnya
mereka yang biasa menggarap tambak
tersebut akan diutamakan.
(2) Jika pemilik tambak tersebut pada ayat (1)
pasal ini tidak bersedia untuk menerima
bagiannya sebagai yang ditetapkan menurut
ketentuan dalam peraturan yang
dimaksudkan dalam pasal 3 dan 4 atau 5,
maka setelah dikurangi dengan biaya-biaya
yang menjadi beban pemilik sisa bagian
pemilik tambak itu oleh penggarap tambak
disimpan pada Bank Koperasi Tani dan
Nelayan setempat atas nama dan biaya pemilik
tersebut.
BAB VIII
Kesejahteraan Nelayan Penggarap,
Penggarap Tambak Dan Buruh Perikanan
Pasal
15
(1) Di daerah-daerah di mana terdapat
usaha-usaha perikanan, baik perikanan laut maupun
perikanan darat, harus diusahakan
berdirinya koperasi-koperasi perikanan yang anggota-
anggotanya terdiri dari para nelayan
penggarap, penggarap tambak, buruh perikanan,
pemilik tambak dan nelayan pemilik.
(2) Koperasi-koperasi perikanan tersebut pada
ayat (1) pasal ini bertujuan untuk
memperbaiki taraf hidup para anggotanya
dengan menyelenggarakan usaha-usaha yang
meliputi baik bidang produksi maupun yang
langsung berhubungan dengan
kesejahteraan para anggota serta
keluarganya.
Pasal
16
(1) Tiap nelayan pemilik wajib memberi perawatan
dan tunjangan kepada para nelayan
penggarap yang menderita sakit, yang
disebabkan karena melakukan tugasnya di laut
atau mendapat kecelakaan di dalam
melakukan tugasnya.
(2) Jika kejadian yang dimaksudkan pada ayat 1
pasal ini mengakibatkan kematian, maka
nelayan pemilik yang bersangkutan wajib
memberi tunjangan yang layak kepada
keluarga yang ditinggalkannya.
(3) Oleh Pemerintah diadakannya peraturan
tentang penyelenggaraan ketentuan-ketentuan
dalam pasal ini.
BAB IX
Pemasaran Hasil
Usaha Perikanan
Pasal
17
Pemasaran
hasil usaha penangkapan dan pemeliharaan ikan, baik perikanan laut maupun
perikanan
darat dilakukan menurut cara dan dengan harga yang disetujui bersama oleh
nelayan
pemilik/pemilik tambak dan nelayan penggarap/penggarap tambak.
BAB X
Pengawasan Dan
Penyelesaian Perselisihan
Pasal 18
(1) Oleh Menteri Perikanan diadakan
ketentuan-ketentuan lebih lanjut tentang
penyelenggaraan ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini dan cara-cara pelaksanaan
pengawasannya.
(2) Didalam menyelenggarakan pengawasan yang
dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini
diikutsertakan pula organisasi-organisasi
tani dan nelayan yang menjadi anggota Front
Nasional setempat.
Pasal 19
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam
pasal 13, maka perselisihan-perselisihan
yang timbul didalam melaksanakan
ketentuan-ketentuan Undang-undang ini dan.
peraturan-peraturan pelaksanaan
diselesakan secara musyawarah oleh pihak-pihak yang
berselisih bersama-sama dengan Panitya
Landreform Desa jika mengenai perikanan
darat atau suatu Panitya Desa akan
dibentuk jika mengenai perikanan laut.
(2) Jika dengan cara demikian tidak dapat
diperoleh penyelesaian, maka soalnya diajukan
depan Panity Landreform Kecamatan jika
mengenai perikanan laut, untuk mendapat
kepuasan.
(3) Terhadap keputusan Panitya tersebut pada
ayat (2) pasal ini dapat dinyatakan banding
kepada Panitya Landreform Daerah Tingkat
II yang bersangkutan, jika mengenai
perikanan darat atau suatu Panitya Daerah
Tingkat II yang akan dibentuk jika mengenai
perikanan laut.
(4) Khusus untuk keperluan penyelesaian
perselisihan sebagai yang dimaksudkan dalam
ayat (2) dan (3) pasal ini keanggotaan
Panitya Landreform ditambah dengan pejabat dari
Dinas Perikanan Darat yang bersangkutan dan
paling banyak 3 orang wakil organisasi-
organisasi tani dan nelayan yang ditunjuk
oleh Front Nasional setempat, jika mereka itu
dalam susunan Panitya sekarang ini belum
menjadi anggota tetap.
BAB XI
Ketentuan Pidana
Dan Lain-Lain
Pasal
20
Dipidana
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan atau denda sebanyak-
banyaknya
Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) karena melakukan pelanggaran:
a. nelayan pemilik atau pemilik tambak yang
mengadakan perjanjian bagi hasil dengan
syarat-syarat yang mengurangi ketentuan
dalam pasal 3 dan 4 atau Penetapan
Pemerintah Daerah yang dimaksudkan dalam
pasal 5;
b. barang siapa melanggar larangan yang
dimaksudkan dalam pasal 8 ayat (3);
c. nelayan pemilik atau pemilik tambak yang
melanggar larangan yang dimaksudkan dalam
pasal 19 ayat (1);
d. barang siapa menjadi perantara antara
nelayan pemilik dan nelayan penggarap atau
pemilik tambak dan penggarap tambak,
dengan maksud untuk memperoleh keuangan
bagi dirinya sendiri.
Pasal 21
Undang-undang
ini dapat disebut "Undang-undang Bagi hasil Perikanan" dan mulai
berlaku
pada
hari diundangkannya.
Agar
supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-
undang
ini dengan penempatan dal am Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada
Tanggal 23 September 1964
Pd.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
Dr. SUBANDRIO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 23 September 1964
SEKRETARIS NEGARA,
Ttd.
MOHD. ICHSAN
LEMBARAN NEGARA NOMOR 97
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN
1964
TENTANG
BAGI HASIL
PERIKANAN
PENJELASAN
UMUM
I. TUJUAN UNDANG-UNDANG BAGI HASIL PERIKANAN
1.
Sebagai salah satu usaha menuju ke arah terwujudnya masyarakat sosialis
Indonesia pada umumnya sebenarnya
untuk meningkatkan taraf hidup para
nelayan penggarap dan penggarap tambak
serta memperbesar produksi ikan,
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara di dalam
Ketetapan
No.II./MPRS/1960 dan Resolusinya
No.I/MPRS/1963 memerintahkan supaya
diadakan Undang-undang yang mengatur
soal usaha perikanan yang
diselenggarakan dengan perjanjian bagi
hasil. Undang-undang ini merupakan
realisasi daripada perintah M.P.R.S.
tersebut.
2.
Sebagaimana ditentukan dalam pasal 12 ayat (1) Undang- undang Pokok
Agraria
segala usaha bersama dalam lapangan
agraria jadi termasuk juga usaha
perikanan, baik perikanan laut maupun
perikanan darat haruslah diselenggarakan
berdasarkan kepentingan bersama dari semua
pihak yang turut serta, yaitu baik
nelayan pemilik dan pemilik tambak
yang menyediakan kapal/perahu, alat-alat
penangkapan ikan dan tambak maupun
para nelayan penggarap dan penggarap
tambak yang menyumbangkan tenaganya, hingga
mereka masing-masing
menerima bagian yang adil dari hasil
usaha tersebut. Pengusahaan perikanan atas
dasar bagi hasil dewasa ini adalah
diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan
hukum adat setempat yang menurut
ukuran sosialisme Indonesia belum
memberikan dan menjadi bagian yang
layak bagi para nelayan penggarap dan
penggarap tambak. Berhubung dengan itu
maka pertama-tama perlu diadakan
ketentuan untuk menghilangkan
unsur-unsur perjanjian bagi hasil yang bersifat
pemerasan,hingga dengan demikian semua
pihak yang turut serta dalam usaha itu
mendapat bagian yang sesuai dengan
jasa yang disumbangkannya. Dengan
memberikan jaminan yang sedemikian itu
maka di samping perbaikan taraf hidup
para nelayan penggarap dan penggarap
tambak yang bersangkutan. diharapkan
pula timbulnya perangsang yang lebih
besar di dalam meningkatkan produksi ikan.
Dalam pada itu hal tersebut tidaklah
berarti, bahwa kepentingan dari pada pemilik
kapal/perahu, alat-alat penangkapan
ikan dan tambak akan diabaikan. Usaha
perikanan, terutama perikanan laut,
memerlukan pemakaian alat-alat yang
memerlukan biaya pemeliharaan serta
perbaikan dan yang pada waktunya bahkan
harus diganti dengan yang baru.
Menetapkan imbangan bagian yang terlalu kecil
bagi golongan pemilik biasa berakibat,
bahwa soal pemeliharaan dan perbaikan
serta penggantian alat-alat tersebut
akan kurang mendapat perhatian atau
diabaikan sama sekali. Hal yang
demikian pula berpengaruh tidak baik terhadap
produksi ikan pada umumnya. Berhubung
dengan itu para pemilik tersebut harus
pula mendapat bagian yang layak,
dengan pengertian, bahwa dengan demikian ia
berkewajiban pula untuk
menyelenggarakan pemeliharaan dan perbaikan
sebagaimana mestinya.
3.
Dalam pada itu perbaikan taraf hidup para nelayan penggarap dan
penggarap
tambak tidak akan dapat tercapai hanya
dengan memperbaiki syarat-syarat
perjanjian bagi hasil saja. Untuk itu
usaha pembentukan koperasi-koperasi
perikanan perlu dipergiat dan lapangan
usaha serta keanggotaannya perlu pula
diperluas. Keanggotaan koperasi
tersebut harus meliputi semua orang yang turut
dalam usaha perikanan itu, jadi baik
para nelayan penggarap, penggarap tambak,
buruh perikanan maupun nelayan pemilik
dan pemilik tambak. Lapangan usaha
koperasi perikanan hendaknya tidak
terbatas pada soal produksi saja, misalnya
pembelian kapal-kapal/perahu- perahu
dan alat-alat penangkapan ikan,
pengolahan hasil ikan serta
pemasarannya, tetapi harus juga meliputi soal kredit
serta hal-hal yang menyangkut
kesejahteraan para anggota dan keluarganya.
Misalnya usaha untuk mencukupi
keperluan sehari-hari, menyelenggarakan
kecelakaan, kematian dan
lain-lainnya. Dengan demikian maka mereka itu
dapatlah dilepaskan dan dihindarkan
dari praktek-praktek para pelepas uang.
tengkulak dan lain-lainnya, yang
dewasa ini sangat merajalela di kalangan usaha
perikanan, terutama perikanan laut.
II. PENGATURANNYA.
1.
Menurut hukum adat yang berlaku sekarang ini tidak terdapat keseragaman
mengenai imbangan besarnya bagian
pemilik pada satu pihak dan para nelayan
penggarap serta penggarap tambak pada
lain pihak. Perbedaan itu disebabkan
selain oleh imbangan antara banyaknya
nelayan penggarap dan penggarap
tambak pada satu pihak serta
kapal/perahu, dan t ambak akan dibagi hasilkan pada
lain pihak, juga oleh rupa-rupa
faktor lainnya Diantaranya ialah penentuan tentang
biaya-biaya apa saja menjadi beban
bersama dan apa yang dipikul oleh mereka
masing-masing. Mengenai perikanan
darat di tambak letak, luas keadaan
kesuburan tambaknya serta jenis ikan
yang dihasilkan merupakan faktor pula yang
menentukan imbangan bagian yang
dimaksudkan itu. Jika tambaknya subur, maka
bagian pemiliknya lebih besar dari
pada bagian pemilik tambak yang kurang subur.
Mengenai perikanan laut, macam kapal
perahu dan alat-alat serta cara-cara
penangkapan yang dipergunakan
merupakan pula faktor yang turut menentukan
besarnya imbangan itu. Bagian seorang
pemilik kapal motor misalnya, adalah lebih
besar imbangan persentasinya. jika
dibandingkan dengan bagian seorang pemilik
perahu layar. Hal itu disebabkan
karena biaya eksploitasi yang harus dikeluarkan
oleh pemilik motor itu lebih besar,
lagipula hasil penangkapan seluruhnya lebih
besar, hingga biarpun imbangan
persentasi bagi para nelayan penggarap lebih
kecil, tetapi hasil yang diterima
sebenarnya oleh mereka masing-masing adalah
lebih besar jika dibandingkan dengan
hasil para nelayan penggarap yang
mempergunakan kapal/perahu layar.
2.
Berhubung dengan itu di dalam Undang-undang ini bagian yang harus
diberikan
kepada para nelayan penggarap dan
penggarap tambak sebagai yang tercantum
di dalam pasal 3, ditetapkan atas
dasar imbangan di dalam pembagian beban-
beban dan biaya-biaya usaha sebagai
yang tercantum dalam pasal 4. Di daerah-
daerah dimana pembagian beban-beban
dan biaya-biaya itu sudah sesuai dengan
apa yang ditentukan di dalam pasal 4,
maka tinggal peraturan tentang pembagian
hasil sajalah yang harus disesuaikan, yaitu
jika menurut kebiasaan setempat
bagian para nelayan penggarap atau
penggarap tambak masih kurang dari apa
yang ditetapkan dalam pasal 3. Jika
bagian mereka sudah lebih besar dari pada
yang ditetapkan dalam pasal 3, maka
aturan yang lebih menguntungkan pihak
nelayan penggarap atau penggarap
tambak itulah yang harus dipakai (pasal 5 ayat
(1)).
3.
Dengan pengaturan yang demikian itu maka ketentuan-ketentuan tentang
bagi
hasil yang dimuat dalam Undang-undang
ini dapat segera dijalankan setelah
Undang-undang ini mulai berlaku,
dengan tidak menutup sama sekali
kemungkinan untuk mengadakan
penyesuaian dengan keadaan daerah, jika hal itu
memang sungguh-sungguh perlu (pasal 5
ayat (2)).
4.
Mengenai perikanan darat hanya diberi ketentuan-ketentuan tentang
penyelenggaraan bagi hasil tambak.
yaitu genangan air yang dibuat oleh orang
sepanjang pantai untuk memelihara
ikan, dengan mendapat pengairan yang
teratur. Usaha pemeliharaan ikan di
empang-empang air tawar dan lain-lainnya
tidak terkena Undang-undang ini oleh
karena umumnya tidak dilakukan secara
bagi hasil, tetapi dikerjakan sendiri
oleh pemiliknya. Kalau ada pemeliharaan yang
dilakukan secara bagi hasil maka
hal itu mengenai kolam-kolam yang tidak luas.
Kalau ada sawah yang dibagi
hasilkan dan selain ditanami padi juga diadakan
usaha pemeliharaan ikan, maka
soalnya diatur menurut Undang-undang No.2
tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi
Hasil Pertanian.
PENJELASAN
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
huruf
a
Dalam pengertian ikan termasuk hasil
laut lainnya, kecuali mutiara, yang pengambilannya
memerlukan izin khusus dari Menteri
Perikanan.
huruf
b dan d
Kapal/perahu, alat-alat penangkapan
ikan lainnya dan tambak yang dibagi hasilkan tidak
perlu dikuasai oleh nelayan pemilik dan
pemilik tambak dengan hak milik, penguasaan itu
dapat pula didasarkan atas hak
perseroan atau penguasaan itu dapat pula didasarkan
atas hak persewaan atau hak guna-usaha.
Sero dan kolong (jelma) yang dipergunakan
untuk menangkap ikan termasuk dalam
pengertian "alat penangkapan ikan".
huruf
c
Orang-orang yang menyediakan tenaganya
dalam usaha penangkapan ikan laut sebagai
suatu kesatuan ("unit")
disebut "nelayan penggarap", yang sebagai kesatuan pula akan
membagi hasil dari usaha itu dengan
nelayan pemilik. Beberapa orang yang turut serta
sebagai satu kesatuan itu tergantung
pada macam kapal/perahu dan alat-alat serta cara-
cara penangkapan yang dipergunakan. Ada
kalanya hanya 2 atau 3 orang, ada kalanya
sampai 20 orang. Seringkali seorang
nelayan pemilik turut serta ke laut sebagai jurumudi,
di dalam hal yang demikian nelayan
pemilik itu juga termasuk dalam golongan nelayan
penggarap. Ia akan menerima bagian dari
hasil usaha itu baik sebagai nelayan pemilik
maupun sebagai salah seorang nelayan
penggarap.
huruf
e
Hubungan dengan syarat-syarat yang
ditentukan di dalam pasal 6.
huruf
f
Tambak harus mendapat pengairan yang
teratur. Ini mengandung arti, bahwa pada
waktu-waktu tertentu menurut kehendak
pengusahanya air dari saluran dapat
dimasukkan ke dalam atau di keluarkan
dari tambak, sehingga pintu air yang cukup rapat
dan kuat merupakan bagian yang mutlak
dari tambak. Oleh karenanya maka pemilik
tambak dan penggarap tambak pada waktu
memulai dan mengakhiri perjanjian bagi hasil
berkewajiban untuk menyerahkan tambak
yang bersangkutan dengan pintu airnya dalam
keadaan yang mencukupi untuk
keperluannya.
huruf
i
Dalam golongan ini termasuk udang,
kecuali kalau udang itu memang sengaja dipelihara
dan benihnya dibeli. Dalam hal yang
demikian udang digolongkan sebagai ikan
pemeliharaan.
Pasal 3 sampai
dengan pasal 5
Biaya
perbekalan untuk para penggarap selama di laut yang menjadi tanggungan bersama,
adalah
mengenai kapal motor. Mengenai ketentuan dalam pasal 4a angka 2 huruf b perlu
ditambahkan
bahwa rumah/tempat tinggal penggarap tambak yang dipergunakan sebagai
tempat
penjagaan, adalah menjadi bahan pemilik tambak, sedang mengenai ketentuan Dalam
pasal
4 angka 2 huruf c perlu ditambahkan penjelasan, bahwa pada umumnya untuk
melaksanakan
kewajibannya itu penggarap tambak biasanya menyediakan sendiri alat-alat
yang
diperlukannya. Jika untuk itu perlu dibeli alat-alat baru, maka berhubung
dengan
mahalnya
harga alat-alat tersebut sekarang ini, pembeliannya dapat dilakukan
bersama-sama
dengan
pemilik tambak. Jika dikemudian hari penggarap tambak itu tidak lagi menggarap
tambak
yang bersangkutan. maka ak an diadakan perhitungan.
Pasal 6
Persyaratan
sebagai yang ditetapkan di dalam pasal ini dimaksudkan agar manfaat yang
diperoleh
dari ketentuan Undang-undang ini benar-benar akan jatuh kepada para penggarap
tambak
yang sebenarnya dan bukan kepada orang-orang yang bertindak sebagai perantara
antara
pemilik tambak dan penggarap, sedang, perantara antara pemilik tambak dan
penggarap,
sedang pada kenyataannya tidak menggarap sendiri tambak yang bersangkutan.
Pembatasan
luas tambak garapan dimaksudkan, selain untuk mencegah timbulnya golongan
perantara,
juga untuk memberi kesempatan kepada orang-orang lain agar juga bisa menjadi
penggarap
tambak.
Pasal 7
Ketentuan
ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepada para nelayan penggarap dan
penggarap
tambak- bahwa mereka akan dapat membagi hasil selama waktu yang cukup lama
dan
kemudian setelah jangka waktu perjanjian berakhir akan kembali menjadi nelayan
penggarap
dan Penggarap tambak dan tidak akan terdesak oleh orang lain. Di dalam Panitya
yang
dimaksudkan dalam ayat 4 huruf b akan diikut sertakan wakil-wakil dari
organisasi-
organisasi
tani dan nelayan yang ditunjuk oleh Front Nasional setempat. Penjelasan ini
berlaku
juga
terhadap ketentuan pasal 19. Kiranya sukar untuk merumuskan dengan tegas apa
yang
dimaksudkan
dengan pengertian "keadaan baik" yang ditentukan dalam ayat (5).
Tetapi pada
umumnya
dapatlah dikatakan, bahwa kapal/perahu, alat-alat penangkapan ikan dan tambak
itu
harus
dikembalikan kepada nelayan pemilik dan pemilik tambak dalam keadaan yang tidak
merugikan
mereka, tidak terjadi kerusakan-kerusakan yang disebabkan karena kelalaian atau
sengaja
ditimbulkan oleh nelayan penggarap atau penggarap tambak. Dalam konkritnya hal
itu
tergantung
pada keadaan dan ukuran setempat jika tentang hal ini terjadi perselisihan maka
berlakulah
ketentuan pasal 19.
Pasal 8
Di
beberapa daerah berlaku kebiasaan, bahwa untuk memperoleh kesempatan
mengusahakan
tambak
dengan perjanjian bagi hasil, calon penggarapnya diharuskan membayar uang atau
memberikan
benda tertentu kepada pemilik tambak. Jumlah uang atau harga barang itu ada
kalanya
sangat tinggi. Oleh karena itu tidak hanya merupakan beban tambahan bagi
penggarap
tambak,
melainkan lebih-lebih merupakan bentuk pemerasan terhadap golongan yang
ekonominya
lemah, maka pemberian semacam itu dilarang. Yang dimaksudkan dengan
"unsur-
unsur
ijon" dalam ayat (3) adalah:
a. pembayarannya dilakukan sebelum
penangkapan ikan lautnya selesai atau sebelum
tambaknya dapat dipanen dan
b. bunganya sangat tinggi.
Dalam
pada itu perlu ditegaskan, bahwa ketentuan dalam pasal 8 ayat (3) dan (4) ini
tidak
mengurangi
kemungkinan diadakannya utang-piutang secara yang wajar dengan bunga yang
layak.
Pembelian ikan di tengah laut ("mengadang"), selain dilarang menurut
peraturan, sering
kali
disertai juga sistem ijon.
Pasal 9
Dalam
Undang-undang pokok Agraria telah ditentukan, bahwa hal sama dan gadai atas
tanah
pertanian
merupakan hak yang tersifat sementara dan harus diusahakan hapusnya dan gadai-
menggadai
tambak itu jarang sekali terjadi. Berhubung dengan itu maka sepanjang mengenai
tambak
ketentuan Undang-undang Pokok Agraria tersebut dapat direalisasikan sekarang,
dengan
mengadakan larangan sebagai ditentukan dalam pasal ini. Dalam pada itu untuk
keperluan-keperluan
yang sangat mendesak, misalnya memerlukan uang untuk biaya
memenuhi
rukun Islam yang ke lima sewa-menyewa atau gadai-menggadai tambak itu masih
diperbolehkan,
tetapi hanya untuk, waktu yang terbatas (misalnya 2 atau 3 tahun). Ketentuan
dalam
ayat (2) dan (3) diperlukan untuk melindungi penyewa tambak, pun untuk tidak
terlalu
merugikan
secara langsung pihak yang menggadai tambak pada waktu Undang-undang itu
mulai
berlaku.
Pasal
10
Untuk
menampung kemungkinan dari usaha-usaha yang hendak menghindarkan diri dari
ketentuan
tentang cara bagi hasil yang diatur di dalam Undang-undang ini dan untuk
menyalurkan
para nelayan dan penggarap tambak untuk berusaha secara wajar demi
peningkatan
produksi perikanan, diadakanlah ketentuan dalam pasal ini, hingga tidak perlu
digunakan
cara-cara yang terlarang.
Pasal
11
Tidak
memerlukan penjelasan.
Pasal
12
Tidak
memerlukan penjelasan.
Pasal 13 dan pasal 14
Menurut
pengertian sosialisme Indonesia maka setiap "pemilikan" mempunyai
fungsi sosial.
Mengenai
tanah hal itu ditegaskan dalam pasal 6 Undang-undang Pokok Agraria. Menurut
pengertian
itu maka setiap alat yang dapat dipergunakan dalam bidang produksi tidak boleh
sengaja
dibiarkan tidak terpakai hingga menjadi tidak produktif. Pengertian tersebut
berlaku
juga
terhadap kapal/perahu, alat-alat penangkapan ikan dan tambak, yang harus
diabadikan
pula
bagi hasil.
Pasal 15
Sudah
dijelaskan di dalam Penjelasan Umum.
Pasal
16
Ketentuan
ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan-jaminan sosial yang layak bagi para
nelayan
penggarap, yang karena sifat pekerjaannya di laut sering menghadapi bahaya.
Pasal
17
Ketentuan
ini dimaksudkan agar supaya masing-masing pihak tidak dirugikan. Usaha
penangkapan
dan pemeliharaan ikan itu adalah suatu usaha bersama yang didasarkan atas
kepentingan
bersama, demikian pasal 2. Soal pemerasan hasil ikan hal yang sangat penting,
oleh
karenanya harus diselenggarakan atas dasar persetujuan kedua belah pihak.
Pasal 18
Penegasan
atas pelaksanaan ketentuan Undang-undang ini, baik yang bersifat preventif
maupun
represif dapat diserahkan kepada para pejabat setempat, terutama Dinas
Perikanan
Laut
dan Darat, juga kepada koperasi-koperasi perikanan, organisasi tani dan nelayan
setempat
dan lain-lain instansi yang dipandang perl u.
Pasal 19
Ketentuan
ini dimaksudkan untuk mempercepat dan menyederhanakan penyelesaian
perselisihan-perselisihan
yang timbul didalam melaksanakan Undang-undang ini.
Pasal 20
Tidak
memerlukan penjelasan.
Pasal
21
Dengan
berlakunya Undang-undang ini yang dapat disebut Undang-undang Bagi Hasil
Perikanan,
maka Undang-undang No.2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi hasil sebaiknya
disebut
"Undang-undang Bagi Hasil Perikanan".
Mengetahui:
SEKRETARIS
NEGARA,
Ttd.
MOHD. ICHSAN.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
NOMOR 2690
the best ford fusion titanium 2019
BalasHapusThe new version includes new titanium granite features for can titanium rings be resized the Fusion Titanium 2019 and its own titanium oxide formula custom built, dual-channel speaker, titanium nitride speakers. titanium white octane